A.
Sastra
Sufi
Sebuah perkembangan penting dalam kesusastraan
Indonesia terjadi pada dasawarsa 1970-an. Tidak hanya sebagai sebuah wacana
konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi kesadaran
dan semangat membangun gerakan estetik. Hal itu ditandai dengan lahirnya
berbagai karya eksperimental, polemik, dan perdebatan mengenai konsep-konsep
kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan.
Dalam hal ini perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan
sastra sufi. Pemilihan istilah sastra sufi dianggap sebagai karya sastra yang
memiliki kriteria dan identitas yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah
sastra religious atau sastra Islam. Sastra religious dianggap terlalu luas dan
linggar untuk segala karya sastra yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran
keagamaan tertentu. Setiap karya sastra dapat teridentifikasi sebagai karya
sastra religious sejauh karya sastra tersebut, minimal, tidak bertentangan
dengan nilai-nilai religiusitas.
Sedangkan sufi, berdasarkan dari
bahasa Arab, secara harfiah adalah orang yang menjauhkan diri dari kemewahan
dunia. Dalam sejarahnya, walaupun para sufi itu telah muncul sejak zaman Nabi
Muhammad SAW, tapi mengalami puncak kejayaannya setelah masa Khulafur Rasyidin,
yakni pada masa pemerintahan Islam dinasti bani Umayyah, berkelanjutan pada
masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Oleh karena itu, dalam kriterianya secara umum sebuah
karya sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra sufi jika karya itu
terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan prinsip Tauhid (prinsip
Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi
Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan
prinsip-prinsip tersebut (Aprinus Salam,Oposisi Sastra Sufi:2004:4-3). Artinya
jika sebuah karya sastra tidak mengandung prinsip-prinsip tersebut maka karya
itu tidak termasuk sastra sufi. Dari konsep ini dapat diambil kesimpulan bahwa
sastra sufi dipastikan berdimensi religious dan islami, namun tidak berarti
sastra religious otomatis sastra sufi.
Prinsip Tauhid sangat penting karena merupakan landasan
utama dalam memahami sastra sufi sebagai sebuah gagasan bagaimana
“menomorsatukan” Tuhan. Tentu ada beberapa gagasan tentang Tauhid, Madjid
(1985:95-100;1986:140-141) mengatakan bahwa penegakan Tauhid atau pengesaan
Tuhan adalah meonoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Dengan kata
lain. Tauhid adalah proses pembebasan manusia dari segala sesuatu yang lebih
rendah dari Tuhan, atau proses pembebasan manusia dari belenggu tuhan-tuhan. Burckhardt
(1984:170) mendefinisikan Tauhid sebagai penegasan atas Keesaan Tuhan. Prinsip
ini dalam pemakaian umum berarti kredo muslim, pengakuan Keesaan Tuhan,
sedangkan dalam sufisme adalah penimpulan semua tingkat pengetahuan tentang
Keesaan Tuhan.
Sastra sufi atau sastra yang bercorak sufistik mulai
mengemuka dalam sejarah sastra Indonesia sejak 1970-an. Hangatnya perbincangan
tentang lahirnya sastra jenis ini, kala itu, tidak lepas dari kegigihan salah
seorang penggiat dan pembelanya, penyair Abdul Hadi WM, yang pada 1980-an
berhasil memopulerkan gaya sastra sufistik melalui berbagai bentuk tulisan.
Menurut Abdul Hadi (1985), beberapa tokoh utama sastra
sufistik 1970-an, di antaranya para prosais seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli
Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko
Damono, dan lain-lain.
Mereka ini selain menciptakan karya-karya dengan
ciri-ciri sufistik, juga memelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya
secara serius serta getol menerjemahkan karya-karya para penyair sufi.
Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an
pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha
Ainun Nadjib.
Karya sastra sufistik, masih menurut Abdul Hadi,
sebenarnya telah dirintis oleh Amir Hamzah si Raja Penyair Pujangga Baru pada
1930-an. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi merupakan
dokumen pencarian dan perjalanan ruhani Amir hamzah menuju Yang Satu. Dalam
perjalanan mengarungi perjalanan ruhani itulah sang penyair menemukan dirinya
yang sejati. Munculnya karya-karya sastra yang mencari akar ke tasawuf, tampak
menarik untuk dicermati.
Sebagaimana kita maklumi, tasawuf yang ekstrem dapat
memicu pendapat yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Maka tidak
mengherankan jika kehadiran karya-karya yang bertolak dari sufisme di negeri
ini selalu menyisakan polemik.
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi
khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam tasawuf dikenal dengan
istilah wihdatul wujud, suatu konsep kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan
dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun
juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati
sebab Dia juga Mahadekat.
B. Analisis Cerpen Pelukis
Yunani dan Cina Atau Perbedaan Antara Ahli Kalam dan Ahli Sufi Karya
Jallalludin Rumi
Dalam cerpen yang
ditulis oleh Rumi ini berjudul Pelukis Yunani dan Cina atau Perbedaan Antara Ahli
Kalam dan Ahli Sufi menceritakan tentang seorang ahli pelukis Yunani dan Cina.
Meraka beradu dalam sebuah sayembara yang dilakukan oleh Si Sultan. Di suatu ketika
mereka saling beradu kemampuan masing-masing dengan keahlian mereka sebagai
pelukis handal. Seperti pada cuplikan cerpen berikut:
“Kami adalah
pelukis-pelukis terbaik,”kata si Cina.
“Kami
jauh lebih unggul,”ujar si Yunani.
“Aku
akan menguji kalian,”ujar Sultan.” Dengan begitu kami bisa melihat siapa di
antara kalian yang paling unggul.”
Dengan berbagai
pertimbangan akhirnya mereka pun beradu dengan segala keunggulan yang mereka
punyai, dan pelukis Cina pun menginginkan persyaratan tertentu untuk bisa
menyelesaikan lukisan dengan hasil yang maksimal yaitu dengan meminta ruangan khusus
yaitu untuk pelukis Cina Yunani. Sehingga pada saat itu ruangan pun menjadi
saling berhadap-hadapan dengan kondisi pintu saling berhadapan. Seperti
cuplikan cerpen berikut:
“Beri
kami sebuah ruang khusus, dan untuk pelukis Yunani beruang yang lain,kata
pelukis Cina.
Dua
ruang berhadap-hadapan, pintu mengahadap pintu, si Cina mengambil yang satu dan
si Yunani mengambil satunya lagi. Si Cina meminta seratus warna cat pada raja,
sehingga raja harus membuka gudang tempat menyimpan harta kekayaan kerajaan dan
setiap pagi pelukis Cina memperoleh warna-warni
cat berkat
kemurahan hati baginda.
Kata “seratus warna” agar hasil lukisan yang dipoles dengan berbagai
macam warna tersebut bisa memberikan keindahan pada lukisannya ini memiliki
makna bahwa seorang pelukis Cina itu membutuhkan banyak bekal warna untuk
menghasilkan sebuah karya yang indah dan memesona. Dan keadaan pelukis Cina itu
sangat mendukung karyanya, karena setiap harinya raja memberikan warna-warni
cat berkat kemurahan dari seorang penguasa kerajaan yaitu Si Sultan. Tingkah
laku pelukis Cina ini menyadarkan kita bahwa tidak perlu kita menyombongkan diri hanya karena ketampanan atau kekayaan
atau kelebihan fisik lainnya. Hanya dengan melihat kelebihan dengan mata
hatilah kita dapat tahu kemutlakan apa adanya. Tanpa mata hati kita selalu
tertipu dengan segala bentuk fisik yang menipu.
Berbeda dengan kondisi pelukis Yunani yang sama sekali
tidak membutuhkan satu warna pun untuk mengecat lukisannya agar nampak sebuah
lukisan yang indah pula seperti pelukis Cina yang menggunakan seratus warna.
Seperti cuplikan cerpen berikut:
“Tak
ada warna atau cat yang cocok untuk lukisan kami,” kata pelukis Yunani. ”Yang
kami perlukan ialah menghindarkan diri dari karatan besi”.
Perkataan pelukis Yunani itu sangat
bermakna, hal ini menunjukkan bahwa di dunia ini tidak akan ada yang mampu
lepas dari sebuah noda atau dosa dalam menghadapi ujian di dunia, melainkan
pastilah semua orang akan memiliki dosa namun kita sebagai manusia hanya bisa
menghindarkan diri dari segala perbuatan yang membawa sebuah dosa. Dosa yang
kita lakukan ini juga tidaklah lepas dari akal yang kita gunakan tidak sesuai
dengan aturan Tuhan, sehingga memba kita kepada sebuah keserakahan,
kesombongan, dan hal-hal yang memburukkan hati serta tindakan kita di dunia
ini.
Setelah itu, mereka menutup pintu ruang mereka
masing-masing dan mulai bekerja memoles dinding licin dan tak bercela
sebagaimana langit di atas sana yang cerah.
Maksud dari perkataan ini adalah dalam bertindak di
dunia ini pastilah tidak lepas dari sebuah dosa, karena Tuhan pun pasti setiap
saat akan selalu setia melihat dan mengamati tingkah laku kita di duni seprti
yang telah digambarkan pada kata “…memoles
dinding licin dan tak bercela sebagaimana langit di atas sana yang cerah”.
Inilah
jalan dari banyak warna ke tanpa warna; warna umpama awan, tak berwarna adalah
bulan. Sinar apapun yang mentakjubkan yang kau lihat di awan, pasti asalnya
dari bintang, bulan, dan matahari.
Selain itu perkataan pada cerpen ini
juga berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu terlahir pertama di dunia ini
dalam keadaan suci dan bersih dari dosa, namun saat usia mereka membawa kepada
penggunaan akal yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan, maka akal tersebut
membawa manusia kepada sebuah dosa. Dan bila seseorang itu mampu mengerti
tentang aturan Tuhan, maka ia akan kembali pada tujuan manusia yaitu keadaan
suci (menuju Tuhan).
Selain itu makna kata “warna umpama awan, tak berwarna adalah
bulan. Sinar apapun yang mentakjubkan yang kau lihat di awan, pasti asalnya
dari bintang, bulan, dan matahari”. Kata-kata tersebut juga menjelaskan
bahwa lukisan yang memakai warna yang disimbolkan warna adalah awan,
dibandingkan dengan sebuah lukisan yang tak berwarna yang disimbolkan dengan
bulan itu tidaklah berbeda. Karena “Sinar
apapun yang mentakjubkan yang kau lihat di awan, pasti asalnya dari bintang,
bulan, dan matahari”, hal ini jelas bahwa sebuah lukisan yang indah
sekalipun di dunia ini yang penuh dengan seratus warna, ini semua pastilah
berasal dari pantulan matahari, bintang , dan bulan yaitu Tuhan.
Ketika
karya mereka selesai, pelukis-pelukis Cina bersorak gembira. Raja datang dan
melihat lukisan di ruang itu; sungguh menawan dan luar biasa. Kemudian dia
pindah melihat ruang para pelukis Yunani bekerja, cukup dengan
menggerak-gerakkan tirai yang menutupi dinding licin cemerlang memantulkan
bayangan lukisan para pelukis Cina. Semua yang disaksikan raja di ruang pelukis
Cina tak melebihi keindahan yang dilihat di ruang pelukis-pelukis Yunani,
sehingga matanya bena-benar terpesona.
Berdasarkan analisis cerpen di atas kita dapat
melihat bentuk-bentuk pemikiran yang berbeda antara pelukis Cina dengan pelukis
Yunani itu. Seorang pelukis Cina yang melukis dengan seratus warna untuk
menghasilkan sebuah karya yang indah dengan berbagai peralatan yang lengkap, ia
bisa menghasilkan sebuah karya lukisan yang indah dan memesona. Hal ini sangat
bertolak belakang dengan pemikiran pelukis Yunani, ia tidak membutuhkan warna
untuk mengecat lukisannya hanya dengan menggerak-gerakkan tirai yang menutupi
dinding licin cemerlang memantulkan bayangan lukisan para pelukis Cina, ia
mampu memberikan sebuah karya yang benar-benar memesona juga.
Pelukis-pelukis
Yunani, O Ayah, adalah para sufi. Tanpa mengahafal, tanpa buku dan belajar di
sekolah resmi mereka mampu memebrsihkan kalbu mereka hingga bersih dari
keserakahan dan kelobaan, kekikiran, dan kebencian. Kemurnian cermin tanpa
diragukan adalah hati yang menerima gambar tak terkira. Pantulan setiap gambar
apakah terhitung atau tidak, terbit selamanya dari hati semata, dan selamanya
setiap gambar baru yang menyelinap ke dalam hati menunjukkan dengan sendirinya
bebas dari segala cela. Mereka telah menggosok hatinya sampai cemerlang
terhindar dari bebauan dan warna;setiap saat, dalam sekejap, mereka menyaksikan
Keindahan.
Jelas terlihat perbedaan antara ahli
kalam dengan ahli sufi bahwa seorang ahli kalam selalu menggunakan akal dan
pikirannya untuk memecahkan sebuah sebuah permasalahan. Akal secara fitrahnya
juga sudah tersetting untuk mendeskripsikan tentang kebenaran. Akal dapat
mengetahui perbedaan buruk dan baik, cinta dan benci, kebohongan dan kebenaran,
yang bathil dan yang haq, dan kata Ibn Taimiyyah “Seandainya Allah tidak
menurunkan agamanya, manusia dengan akalnya bisa mengetahui hakikat tentang
Tuhannya dan kebenaran itu sendiri”. Namun, secara fitrah juga manusia punya
kelemahan, lemah dalam menahan nafsu sehingga mudah terpedaya, suka
tergesa-gesa, tidak cermat, dan lain-lain. Maka disinilah pantulah cahaya
hatilah yang mampu memberikan cahaya di setiap langkah kita dalam menjalani
hidup dalam membedakan antara hak dan yang bathil dengan selalu menjauhkan diri
dari warna=keburukan di dunia/ dosa dan menuju tujuan hidup yang kekal adalah
menuju Tuhan.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak ingin terlibat dalam
pro dan kontra, tetapi lebih melihat peran sastra sufistik sebagai karya yang
dapat menohok kesadaran manusia di hadapan Tuhannya. Seperti dikatakan Jallalludin
Rumi bahwa pengarang atau penyair mencipta bukan karena adanya pantun, syair,
cerpennya saja namun karena kesadaran akan pengetahuan yang dianugerahkan
Tuhan.
Sejalan dengan karya-karya Rumi menegaskan, bentuk
sastra apa pun yang digunakan tidaklah penting, melainkan bobot karya itu
sendirilah yang paling penting. Dengan demikian, keindahan estetis tidak lebih
merupakan akibat dari kesadaran religius, sebab pada dasarnya, kesadaran
religius secara kodrati telah memiliki kualitas estetis.
Dalam hal ini pula keindahan itu jangan dicari di luar
diri sebab ia berada dalam diri. Seorang sastrawan yang berpegang teguh atas
prinsip ini menemukan keindahan bukan karena mencari, tapi merupakan hasil
pergulatan batinnya dalam mengakrabi Tuhan dan ciptaan-Nya. Penghayatan
terhadap nilai-nilai Ketuhanan secara intens akan sangat penting untuk
membentuk karakter pribadi yang mulia, terutama ketika dekadensi moral
mengoyak-ngoyak peradaban manusia.
Berangkat dari kesadaran ini para sastrawan membutuhkan
Tuhan yang bisa diajak dialog dengan penuh kekhusyukan. Akan tetapi, tidak
setiap sastrawan bisa langsung menggeluti sastra sufistik dari awal namun
haruslah melalui beberapa tahap pengetahuan, seperti dalam ajaran tasawuf islam
bahwa jalan menuju Alloh/ Tuhan meliputi empat tahap yaitu Syariat laksana
perahu sebab syariat adalah alat keselamatan dalam mencapai tujuan, Thariqot
diumpamakan lautan, sebab thoriqot adalah tempat mutiara yang dimaksud, Haqiqot
diumpamakan mutiara yang bernilai tinggi, yang tak akan mungkin didapatkan
kecuali dalam lautan. Singkatnya, tanpa perahu dan mencari dalam lautan,
seseorang tak akan mungkin mendapatkan mutiara, begitu pula tanpa syariat dan
thoriqot seseorang tak akan mungkin memperoleh haqiqot.
Hal ini hanya sebuah perumpamaan bahwa bila seorang
sastrawan yang ingin menulis sebuah karya sastra sufi tidaklah mudah hanya
sekadar menuliskan saja, namun harus melewati beberapa tahapan yang sekaligus
pengalaman bagi mereka lakukan, sehingga karya yang ia hasilkan bisa mengandung
sastra sufistik yang benar-benar berbobot tingkat kesufiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar