Minggu, 20 Oktober 2013

Sastra Sufi



A.    Sastra Sufi
Sebuah perkembangan penting dalam kesusastraan Indonesia terjadi pada dasawarsa 1970-an. Tidak hanya sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik. Hal itu ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik, dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan.
Dalam hal ini perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan sastra sufi. Pemilihan istilah sastra sufi dianggap sebagai karya sastra yang memiliki kriteria dan identitas yang lebih spesifik dibandingkan dengan istilah sastra religious atau sastra Islam. Sastra religious dianggap terlalu luas dan linggar untuk segala karya sastra yang sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran keagamaan tertentu. Setiap karya sastra dapat teridentifikasi sebagai karya sastra religious sejauh karya sastra tersebut, minimal, tidak bertentangan dengan nilai-nilai religiusitas.
Sedangkan sufi, berdasarkan dari bahasa Arab, secara harfiah adalah orang yang menjauhkan diri dari kemewahan dunia. Dalam sejarahnya, walaupun para sufi itu telah muncul sejak zaman Nabi Muhammad SAW, tapi mengalami puncak kejayaannya setelah masa Khulafur Rasyidin, yakni pada masa pemerintahan Islam dinasti bani Umayyah, berkelanjutan pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Oleh karena itu, dalam kriterianya secara umum sebuah karya sastra baru dianggap memenuhi penyebutan sastra sufi jika karya itu terutama dan pertama adalah karya sastra yang mempersoalkan prinsip Tauhid (prinsip Keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut (Aprinus Salam,Oposisi Sastra Sufi:2004:4-3). Artinya jika sebuah karya sastra tidak mengandung prinsip-prinsip tersebut maka karya itu tidak termasuk sastra sufi. Dari konsep ini dapat diambil kesimpulan bahwa sastra sufi dipastikan berdimensi religious dan islami, namun tidak berarti sastra religious otomatis sastra sufi.
Prinsip Tauhid sangat penting karena merupakan landasan utama dalam memahami sastra sufi sebagai sebuah gagasan bagaimana “menomorsatukan” Tuhan. Tentu ada beberapa gagasan tentang Tauhid, Madjid (1985:95-100;1986:140-141) mengatakan bahwa penegakan Tauhid atau pengesaan Tuhan adalah meonoteisme yang keras dan tidak mengenal kompromi. Dengan kata lain. Tauhid adalah proses pembebasan manusia dari segala sesuatu yang lebih rendah dari Tuhan, atau proses pembebasan manusia dari belenggu tuhan-tuhan. Burckhardt (1984:170) mendefinisikan Tauhid sebagai penegasan atas Keesaan Tuhan. Prinsip ini dalam pemakaian umum berarti kredo muslim, pengakuan Keesaan Tuhan, sedangkan dalam sufisme adalah penimpulan semua tingkat pengetahuan tentang Keesaan Tuhan.
Sastra sufi atau sastra yang bercorak sufistik mulai mengemuka dalam sejarah sastra Indonesia sejak 1970-an. Hangatnya perbincangan tentang lahirnya sastra jenis ini, kala itu, tidak lepas dari kegigihan salah seorang penggiat dan pembelanya, penyair Abdul Hadi WM, yang pada 1980-an berhasil memopulerkan gaya sastra sufistik melalui berbagai bentuk tulisan.
Menurut Abdul Hadi (1985), beberapa tokoh utama sastra sufistik 1970-an, di antaranya para prosais seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
Mereka ini selain menciptakan karya-karya dengan ciri-ciri sufistik, juga memelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius serta getol menerjemahkan karya-karya para penyair sufi. Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha Ainun Nadjib.
Karya sastra sufistik, masih menurut Abdul Hadi, sebenarnya telah dirintis oleh Amir Hamzah si Raja Penyair Pujangga Baru pada 1930-an. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi merupakan dokumen pencarian dan perjalanan ruhani Amir hamzah menuju Yang Satu. Dalam perjalanan mengarungi perjalanan ruhani itulah sang penyair menemukan dirinya yang sejati. Munculnya karya-karya sastra yang mencari akar ke tasawuf, tampak menarik untuk dicermati.
Sebagaimana kita maklumi, tasawuf yang ekstrem dapat memicu pendapat yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Maka tidak mengherankan jika kehadiran karya-karya yang bertolak dari sufisme di negeri ini selalu menyisakan polemik.
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam tasawuf dikenal dengan istilah wihdatul wujud, suatu konsep kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati sebab Dia juga Mahadekat.

B.     Analisis Cerpen Pelukis Yunani dan Cina Atau Perbedaan Antara Ahli Kalam dan Ahli Sufi Karya Jallalludin Rumi
            Dalam cerpen yang ditulis oleh Rumi ini berjudul Pelukis Yunani dan Cina atau Perbedaan Antara Ahli Kalam dan Ahli Sufi menceritakan tentang seorang ahli pelukis Yunani dan Cina. Meraka beradu dalam sebuah sayembara yang dilakukan oleh Si Sultan. Di suatu ketika mereka saling beradu kemampuan masing-masing dengan keahlian mereka sebagai pelukis handal. Seperti pada cuplikan cerpen berikut:
“Kami adalah pelukis-pelukis terbaik,”kata si Cina.
“Kami jauh lebih unggul,”ujar si Yunani.
“Aku akan menguji kalian,”ujar Sultan.” Dengan begitu kami bisa melihat siapa di antara kalian yang paling unggul.”
            Dengan berbagai pertimbangan akhirnya mereka pun beradu dengan segala keunggulan yang mereka punyai, dan pelukis Cina pun menginginkan persyaratan tertentu untuk bisa menyelesaikan lukisan dengan hasil yang maksimal yaitu dengan meminta ruangan khusus yaitu untuk pelukis Cina Yunani. Sehingga pada saat itu ruangan pun menjadi saling berhadap-hadapan dengan kondisi pintu saling berhadapan. Seperti cuplikan cerpen berikut:
“Beri kami sebuah ruang khusus, dan untuk pelukis Yunani beruang yang lain,kata pelukis Cina.
Dua ruang berhadap-hadapan, pintu mengahadap pintu, si Cina mengambil yang satu dan si Yunani mengambil satunya lagi. Si Cina meminta seratus warna cat pada raja, sehingga raja harus membuka gudang tempat menyimpan harta kekayaan kerajaan dan setiap pagi pelukis Cina memperoleh warna-warni cat berkat kemurahan hati baginda.
Kata “seratus warna” agar hasil lukisan yang dipoles dengan berbagai macam warna tersebut bisa memberikan keindahan pada lukisannya ini memiliki makna bahwa seorang pelukis Cina itu membutuhkan banyak bekal warna untuk menghasilkan sebuah karya yang indah dan memesona. Dan keadaan pelukis Cina itu sangat mendukung karyanya, karena setiap harinya raja memberikan warna-warni cat berkat kemurahan dari seorang penguasa kerajaan yaitu Si Sultan. Tingkah laku pelukis Cina ini menyadarkan kita bahwa tidak perlu kita menyombongkan diri hanya karena ketampanan atau kekayaan atau kelebihan fisik lainnya. Hanya dengan melihat kelebihan dengan mata hatilah kita dapat tahu kemutlakan apa adanya. Tanpa mata hati kita selalu tertipu dengan segala bentuk fisik yang menipu.
Berbeda dengan kondisi pelukis Yunani yang sama sekali tidak membutuhkan satu warna pun untuk mengecat lukisannya agar nampak sebuah lukisan yang indah pula seperti pelukis Cina yang menggunakan seratus warna. Seperti cuplikan cerpen berikut:
“Tak ada warna atau cat yang cocok untuk lukisan kami,” kata pelukis Yunani. ”Yang kami perlukan ialah menghindarkan diri dari karatan besi”.
            Perkataan pelukis Yunani itu sangat bermakna, hal ini menunjukkan bahwa di dunia ini tidak akan ada yang mampu lepas dari sebuah noda atau dosa dalam menghadapi ujian di dunia, melainkan pastilah semua orang akan memiliki dosa namun kita sebagai manusia hanya bisa menghindarkan diri dari segala perbuatan yang membawa sebuah dosa. Dosa yang kita lakukan ini juga tidaklah lepas dari akal yang kita gunakan tidak sesuai dengan aturan Tuhan, sehingga memba kita kepada sebuah keserakahan, kesombongan, dan hal-hal yang memburukkan hati serta tindakan kita di dunia ini.
Setelah itu, mereka menutup pintu ruang mereka masing-masing dan mulai bekerja memoles dinding licin dan tak bercela sebagaimana langit di atas sana yang cerah.
Maksud dari perkataan ini adalah dalam bertindak di dunia ini pastilah tidak lepas dari sebuah dosa, karena Tuhan pun pasti setiap saat akan selalu setia melihat dan mengamati tingkah laku kita di duni seprti yang telah digambarkan pada kata “…memoles dinding licin dan tak bercela sebagaimana langit di atas sana yang cerah”.
Inilah jalan dari banyak warna ke tanpa warna; warna umpama awan, tak berwarna adalah bulan. Sinar apapun yang mentakjubkan yang kau lihat di awan, pasti asalnya dari bintang, bulan, dan matahari.
            Selain itu perkataan pada cerpen ini juga berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu terlahir pertama di dunia ini dalam keadaan suci dan bersih dari dosa, namun saat usia mereka membawa kepada penggunaan akal yang tidak sesuai dengan ajaran Tuhan, maka akal tersebut membawa manusia kepada sebuah dosa. Dan bila seseorang itu mampu mengerti tentang aturan Tuhan, maka ia akan kembali pada tujuan manusia yaitu keadaan suci (menuju Tuhan).
            Selain itu makna kata “warna umpama awan, tak berwarna adalah bulan. Sinar apapun yang mentakjubkan yang kau lihat di awan, pasti asalnya dari bintang, bulan, dan matahari”. Kata-kata tersebut juga menjelaskan bahwa lukisan yang memakai warna yang disimbolkan warna adalah awan, dibandingkan dengan sebuah lukisan yang tak berwarna yang disimbolkan dengan bulan itu tidaklah berbeda. Karena “Sinar apapun yang mentakjubkan yang kau lihat di awan, pasti asalnya dari bintang, bulan, dan matahari”, hal ini jelas bahwa sebuah lukisan yang indah sekalipun di dunia ini yang penuh dengan seratus warna, ini semua pastilah berasal dari pantulan matahari, bintang , dan bulan yaitu Tuhan.
Ketika karya mereka selesai, pelukis-pelukis Cina bersorak gembira. Raja datang dan melihat lukisan di ruang itu; sungguh menawan dan luar biasa. Kemudian dia pindah melihat ruang para pelukis Yunani bekerja, cukup dengan menggerak-gerakkan tirai yang menutupi dinding licin cemerlang memantulkan bayangan lukisan para pelukis Cina. Semua yang disaksikan raja di ruang pelukis Cina tak melebihi keindahan yang dilihat di ruang pelukis-pelukis Yunani, sehingga matanya bena-benar terpesona.
Berdasarkan analisis cerpen di atas kita dapat melihat bentuk-bentuk pemikiran yang berbeda antara pelukis Cina dengan pelukis Yunani itu. Seorang pelukis Cina yang melukis dengan seratus warna untuk menghasilkan sebuah karya yang indah dengan berbagai peralatan yang lengkap, ia bisa menghasilkan sebuah karya lukisan yang indah dan memesona. Hal ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran pelukis Yunani, ia tidak membutuhkan warna untuk mengecat lukisannya hanya dengan menggerak-gerakkan tirai yang menutupi dinding licin cemerlang memantulkan bayangan lukisan para pelukis Cina, ia mampu memberikan sebuah karya yang benar-benar memesona juga.
Pelukis-pelukis Yunani, O Ayah, adalah para sufi. Tanpa mengahafal, tanpa buku dan belajar di sekolah resmi mereka mampu memebrsihkan kalbu mereka hingga bersih dari keserakahan dan kelobaan, kekikiran, dan kebencian. Kemurnian cermin tanpa diragukan adalah hati yang menerima gambar tak terkira. Pantulan setiap gambar apakah terhitung atau tidak, terbit selamanya dari hati semata, dan selamanya setiap gambar baru yang menyelinap ke dalam hati menunjukkan dengan sendirinya bebas dari segala cela. Mereka telah menggosok hatinya sampai cemerlang terhindar dari bebauan dan warna;setiap saat, dalam sekejap, mereka menyaksikan Keindahan.
            Jelas terlihat perbedaan antara ahli kalam dengan ahli sufi bahwa seorang ahli kalam selalu menggunakan akal dan pikirannya untuk memecahkan sebuah sebuah permasalahan. Akal secara fitrahnya juga sudah tersetting untuk mendeskripsikan tentang kebenaran. Akal dapat mengetahui perbedaan buruk dan baik, cinta dan benci, kebohongan dan kebenaran, yang bathil dan yang haq, dan kata Ibn Taimiyyah “Seandainya Allah tidak menurunkan agamanya, manusia dengan akalnya bisa mengetahui hakikat tentang Tuhannya dan kebenaran itu sendiri”. Namun, secara fitrah juga manusia punya kelemahan, lemah dalam menahan nafsu sehingga mudah terpedaya, suka tergesa-gesa, tidak cermat, dan lain-lain. Maka disinilah pantulah cahaya hatilah yang mampu memberikan cahaya di setiap langkah kita dalam menjalani hidup dalam membedakan antara hak dan yang bathil dengan selalu menjauhkan diri dari warna=keburukan di dunia/ dosa dan menuju tujuan hidup yang kekal adalah menuju Tuhan.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak ingin terlibat dalam pro dan kontra, tetapi lebih melihat peran sastra sufistik sebagai karya yang dapat menohok kesadaran manusia di hadapan Tuhannya. Seperti dikatakan Jallalludin Rumi bahwa pengarang atau penyair mencipta bukan karena adanya pantun, syair, cerpennya saja namun karena kesadaran akan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan.
Sejalan dengan karya-karya Rumi menegaskan, bentuk sastra apa pun yang digunakan tidaklah penting, melainkan bobot karya itu sendirilah yang paling penting. Dengan demikian, keindahan estetis tidak lebih merupakan akibat dari kesadaran religius, sebab pada dasarnya, kesadaran religius secara kodrati telah memiliki kualitas estetis.
Dalam hal ini pula keindahan itu jangan dicari di luar diri sebab ia berada dalam diri. Seorang sastrawan yang berpegang teguh atas prinsip ini menemukan keindahan bukan karena mencari, tapi merupakan hasil pergulatan batinnya dalam mengakrabi Tuhan dan ciptaan-Nya. Penghayatan terhadap nilai-nilai Ketuhanan secara intens akan sangat penting untuk membentuk karakter pribadi yang mulia, terutama ketika dekadensi moral mengoyak-ngoyak peradaban manusia.
Berangkat dari kesadaran ini para sastrawan membutuhkan Tuhan yang bisa diajak dialog dengan penuh kekhusyukan. Akan tetapi, tidak setiap sastrawan bisa langsung menggeluti sastra sufistik dari awal namun haruslah melalui beberapa tahap pengetahuan, seperti dalam ajaran tasawuf islam bahwa jalan menuju Alloh/ Tuhan meliputi empat tahap yaitu Syariat laksana perahu sebab syariat adalah alat keselamatan dalam mencapai tujuan, Thariqot diumpamakan lautan, sebab thoriqot adalah tempat mutiara yang dimaksud, Haqiqot diumpamakan mutiara yang bernilai tinggi, yang tak akan mungkin didapatkan kecuali dalam lautan. Singkatnya, tanpa perahu dan mencari dalam lautan, seseorang tak akan mungkin mendapatkan mutiara, begitu pula tanpa syariat dan thoriqot seseorang tak akan mungkin memperoleh haqiqot.
Hal ini hanya sebuah perumpamaan bahwa bila seorang sastrawan yang ingin menulis sebuah karya sastra sufi tidaklah mudah hanya sekadar menuliskan saja, namun harus melewati beberapa tahapan yang sekaligus pengalaman bagi mereka lakukan, sehingga karya yang ia hasilkan bisa mengandung sastra sufistik yang benar-benar berbobot tingkat kesufiannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar