Rabu, 20 November 2013

Artikel Psikolinguistik




Artikel Psikolinguistik "Semoga Bermanfaat""


1.                      Pada hakikatnya disiplin ilmu psikologi lebih mengarah pada pembahasan di bidang psikologi daripada ilmu bahasa (linguistik), sedangkan psikolinguistik lebih mengarah pada bidang kajian linguistik daripada ilmu jiwa (psikologi). Anggapan tersebut ada juga benarnya. Karena istilah psikologi, yang disebut psychologia (bahasa Latin) atau psychology (bahasa Inggris), berasal dari bahasa Yunani psycho = jiwa‘ + logos = kajian, ilmu‘.  Secara harfiah, psikologi itu diartikan ilmu jiwa. Istilah ini mulai dipakai pada tahun 1530 oleh seorang Jerman yang bernama Philipp Melanchton dalam ceramah akademisnya mengenai jiwa, untuk membedakannya dari pneumatologi, yakni kajian jiwa manusia yang berkaitan dengan malaikat, roh jahat, dan Tuhan. Psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku manusia dan proses-proses yang berkaitan dengan perilaku tersebut, baik perilaku individual maupun perilaku sosial (Sukadji, 1986:1.3). Pengertian psikologi tersebut sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni para psikolog pada umumnya menekankan penyelidikan terhadap perilaku manusia yang bersifat jasmaniah (aspek psikomotor) dan yang bersifat rohaniah (kognitif dan afektif). Tingkah laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka, seperti berbicara, duduk, berjalan, dsb., sedangkan tingkah laku kognitif dan afektif (ranah cipta dan ranah rasa) bersifat tertutup, seperti berpikir, berkeyakinan, berperasaan, dsb. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi ialah ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia baik yang tampak maupun yang tidak tampak dan tidak mengarah kepada perilaku berbahasa pada manusia.
Sedangkan objek psikolinguistik adalah bahasa, gejala jiwa, dan hubungan di antara keduanya. Bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala jiwa. Bahasa dilihat dari aspek psikologis, yakni proses bahasa yang terjadi pada otak (mind), baik pada otak pembicara maupun otak pendengar.
Sejalan dengan pendapat tersebut (Slobin, dalam Chaer, 2003: 5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.
Berikut ini disajikan beberapa definisi psikolinguistik dari para pakar sebagai bahan pemahaman.
“Psycholinguistics investigates the interrelation of language and mind in processing and producing utterances and in language acquisition(Hartley, 1982:16). Psikolinguistik membahas hubungan bahasa dengan otak dalam memproses dan menghasilkan ujaran dan pemerolehan bahasa.
Psycholinguistics deals directly with the processes of encoding and decoding as they relate states of message to states of communicators” (Osgood & Sebeok, dalam Stern, 1983:296). Psikolinguistik secara langsung berhubungan dengan proses penyandian dan pemahaman sandi seperti pesan yang disampaikan oleh para pelibat komunikasi].
Psikolinguistik adalah pendekatan gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang berkaitan dengan itu, yang tidak mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari kedua ilmu tersebut secara terpisan atau sendiri-sendiri‖ (Lado, 1976:220).
Psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana pemakai suatu bahasa membangun dan memahami kalimat-kalimat bahasa tersebut‖ (Emmon Bach, 1964:64). Psycholinguistics is the study of language acquisition and linguistic behavior, as well as the psychological mechanisms responsible for them” (Langacker, 1973:6). Psikolinguistik adalah telaah pemerolehan bahasa dan perilaku linguistik, terutama mekanisme psikologis yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu.
Untuk lebih memahami ranah kedua disiplin ilmu antara psikologi dan psikolinguistik, Spolsky (1978:5) dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/jur._pend._bahasa_daerah/buku_psikolinguistik/psiko menggambarkan kedudukan psikolinguistik sebagai berikut.


 











Nampak terlihat berdasarkan gambar tersebut, kedudukan disiplin ilmu psikolinguistik tersebut dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik membahas psikologi dari segi teori bahasa secara umum (linguistik umum), teori belajar bahasa, teori pengajaran bahasa, sosiolinguistik yang dapat memengaruhi pemerolehan bahasa seseorang dengan berbagai proses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala jiwa. Bahasa dapat dilihat dari aspek psikologis, yakni proses bahasa yang terjadi pada otak (mind), baik pada otak pembicara maupun otak pendengar. Bagaimana manusia memeroleh bahasa dan beberapa teori belajar bahasa saat manusia pertama kali memahami bahasa dalam proses ujaran. Namun, dalam kajian disiplin ilmu psikologi tidak membahas secara mendalam mengenai hubungan manusia saat mengenal bahasa pertama kali, karena ilmu psikologi hanya memfokuskan objek kajiannya hanya dari segi perilaku manusia dan proses-proses yang berkaitan dengan perilaku tersebut, baik perilaku individual maupun perilaku sosial.
3.                                      Metode longitudinal merupakan salah satu metode penelitian bahasa anak dengan cara meneliti subjek secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang. Longitudinal meneliti perkembangan sesuatu yang sedang dikaji, sehingga rentang waktu satu – empat bulan belum bisa menunjukkan gambaran tentang perkembangan sesuatu yang dikaji (Dardjowidjojo, 2008:227). Ahmadi dan Sholeh dalam “Psikologi Perkembangan” menjelaskan bahwa penilitian longitudinal merupakan cara meneliti seseorang atau beberapa orang anak tertentu mulai dari dalam kandungan, lahir hingga dewasa, tanpa diadakan cross (silang) dengan pembanding anak lainnya (Ahmadi, 2005:13-14). Akan tetapi metode penelitian ini memiliki kelemahan yang memungkinkan adanya gangguan kontinuitas peneliti. Artinya, peneliti dapat mengalami pemutusan proses penelitian antara lain sakit parah, pindah tempat dan lain-lainnya. Sehingga dengan melihat kelemahan dari metode tersebut maka didaptkan metode untuk mempercepat atau mempersingkat dari metode longitudinal yaitu dengan metode Cross Section.
Ahmadi dan Sholeh mendefinisikan Cross Section sebagai sebuah metode penelitian yang dilakukan terhadap seorang anak atau lebih yang seusia untuk selanjutnya subjeknya disilang (cross) dengan anak atau sekelompok anak lainnya yang mempunyai taraf usia setingkat di atasnya dalam waktu penelitian yang bersamaan, dan kemudian hasil penelitian subjek-subjek yang mempunyai taraf usia bertingkat itu digabungkan sebagai wujud hasil akhir penelitian. (Ahmadi, 2005: 13).
Cross-sectional lebih mementingkan banyaknya data dari subjek yang lebih dari satu, dalam waktu yang relatif singkat. Penelitian yang dilakukan pun bukan mengenai hal yang menyangkut perkembangan bahasa anak, akan tetapi tentang materi yang lebih mengarah ke gramatikal bahasa.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami bahwa penelitian ini merupakan suatu pendekatan yang dipergunakan untuk melakukan penelitian terhadap masa perkembangan seorang anak atau sekelompok anak dalam jangka waktu yang relatif singkat tanpa harus mengikuti perjalanan hidup secara kronologis pada subjek penelitian. Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya penelitian. Pendekatan ini digunakan untuk meneliti berbagai anak yang berbeda, namun Dariyo menyatakan bahwa penelitian ini dapat dilakukan meskipun oleh satu orang peneliti saja (Dariyo, 2011: 61).
Contohnya, untuk mengetahui bagaimana anak mampu menginterpretasikan kalimat pasif, peneliti akan mengumpulkan anak dalam tiga kelompok untuk kemudian diberikan pertanyaan yang dapat dijadikan pencapaian bahwa anak tersebut mampu menguasai materi atau tidak. Kedua desain tersebut dapat dilakukan baik secara observasional maupun eksperimental.Pada tipe natural, peneliti tidak mengadakan interferensi  apapun. Anak-anak dibiarkan berbahasa secara natural di tempat manapun. Sedangkan pada tipe terkontrol, anak-anak berada dalam pengawasan laboratorium.
Dalam pendekatan ini penelitian dilakukan terhadap anak-anak atau kelompok orang dari tingkatan umur yang berbeda-beda. Misalnya, seorang peneliti akan meneliti perkembangan pemerolehan bahasa anak selama masa balita. Maka peneliti tidak harus meneliti seorang anak yang berusia 24 bulan kemudian anak tersebut diteliti sampai genap berusia 60 bulan. Dalam menggunakan pendekatan ini, peneliti hanya akan mencari sejumlah subjek yang berusia 2 tahun yaitu kelompok A, 3 tahun yaitu kelompok B, dan 4 tahun untuk kelompok C. Kemudian penelitian dilakukan selama 1 tahun, maka akan didapatkan laporan hasil penelitian perkembangan pemerolehan bahasa anak usia 25 sampai 36 bulan, usia 37 sampai 48 bulan dan usia 49 sampai 60 bulan. Laporan penelitian tersebut kemudian digabungkan dan disimpulkan sebagai wujud hasil akhir penelitian terhadap seorang anak yang memperoleh bahasa ibunya selama masa balita. Berikut jika digambarkan dengan ilustrasi perhitungan masa penelitian dari sekelompok anak yang berusia 2 tahun (25—36 bulan) untuk kelompok A, 3 tahun (37—48 bulan) untuk kelompok B, dan 4 tahun (49—60 bulan) untuk kelompok C.













 







Dalam pendekatan ini, sekelompok anak yang mempunyai usia berbeda tersebut tidak hanya dapat dibandingkan dalam hal pemerolehan bahasa. Pada sekelompok anak tersebut juga dapat dilakukan penelitian tentang keberagaman variabel terikat lain seperti: IQ, memori, relasi teman sebaya, kedekatan dengan orang tua, dan perubahan hormon (Desmita, 2009: 61).
Keunggulan utama dalam menggunakan pendekatan Cross Section ini adalah bahwa para peneliti tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk menunggu individu bertumbuh. Selain itu, penelitian ini juga dapat memberikan gambaran karakteristik psikologis responden yang berbeda-beda usianya itu. Kelemahan dalam metode penelitian ini ialah hasil penelitian tak dapat seakurat dengan metode penelitian jangka panjang. Masing-masing subjek yang berbeda usia memiliki karakteristik khusus sehingga sulit untuk melakukan generalisasi terhadap perkembangan masing-masing subjek tersebut. Di samping itu, pendekatan ini tidak memberi informasi tentang bagaimana individu berubah atau tentang stabilitas karakteristiknya. Naik turunnya perkembangan subjek penelitian dapat menjadi tidak jelas (Desmita, 2009: 61).
4.         Motivasi adalah salah satu faktor yang memberikan kontribusi pada keberhasilan pembelajaran bahasa kedua. Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985) mendefinisikan motivasi sebagai faktor yang menentukan keinginan (desire) seseorang untuk melakukan sesuatu. Definisi sejenis dapat dijumpai dalam Brown (1987) yang menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan dari  dalam  sesaat, emosi atau keinginan yang menggerakkan seseorang untuk melakukan sesuatu.
             Namun, selain faktor motivasi ada sebab-sebab mengapa orang tersebut tidak bisa menguasai bahasa baru itu dengan baik yakni karena faktor usia. Maksudnya adalah  ada anggapan umum dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih baik dan berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa (Djunaidi dalam Chaer, 2003:252). Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini telah mengarahkan pada adanya hipotesis mengenai usia kritis atau periode kritis (Lenneberg dalam Chaer, 2003:252). Selain itu, ada faktor penyajian formal yaitu faktor yang memengaruhi seseorang dalam melewati sistem pembelajaran bahasa kedua di lingkungan yang formal, misalnya di lingkungan pendidikan/ sekolah, dengan kesengajaan, dengan perangkat formal pembelajaran, seperti kurikulum, metode, guru, media pembelajaran, materi pembelajaran, dan sebagainya. Hal ini pula bisa mempercepat, namun jika lingkungan sosial tempat pembelajar itu berada tidak mendukung pembelajaran bahasa kedua dari orang tersebut, maka tidak akan mampu menguasai bahasa kedua, jika orang tersebut kurang merespon lingkungan sosial di sekitarnya yang pada hakikatnya menggunakan bahasa kedua tersebut, maka sulit juga orang tersebut untuk mampu menguasai bahasa keduanya. Dan yang ketiga faktor peranan koreksi terhadap kecepatan dan keberhasilan memperoleh bahasa kedua, ketika pembelajar bahasa kedua ini menggunakan kompetensi berbahasa yang baru saja ia peroleh yaitu bahasa keduanya dan lingkungan sekitar tidak ada yang memberikan peran koreksi terhadap pembelajar bahasa kedua, maka orang tersebut itu akan semakin sulit dan lama untuk mengetahui kesalahan-kesalahan yang terjadi saat ia belajar dalam menggunakan bahasa kedua. Dan keempat adalah peran frekuensi dalam pembelajaran bahasa kedua. Disaat pembelajar bahasa kedua tersebut dalam kondisi frenkuensi dalam pengenalan bahasa kedua tersebut sangat jarang/renggang, maka keterampilan pembelajaran bahasa kedua pun akan lama dikuasai, dan sebaliknya.
5.            Kajian mengenai pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene (1963), Bellugi (1964),Brown dan Fraser (1964) dan Miller dan Ervin (1964). Menurut kajian awal ini ucapan dua kata kanak-kanak ini terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan frekuensi munculnya kata-kata itu dalam kalimat. Kedua jenis kata ini kemudian dikelan dengan nama kelas Pivot dan kelas terbuka. Kemudian berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa pivot (pivot grammar). Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah kata-kata fungsi (function words), sedangkan yang termasuk kelas kata terbuka adalah kata-kata isi (content words) atau kata penuh (full words) seperti kata-kata berkategori nomina dan verba (Chaer, 2003:184).
                Pada tahun 1963 Martin Braine, Universitas California di Santa Barbara, mendapati dalam penelitiannya bahwa urutan dua kata yang dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata yang tidak pernah muncul sendirian. Ketiga anak yang ia selidiki tampanya membagi kata-kata mereka menjadi dua kelompok: a) kata-kata yang sering muncul, yang tidak pernah sendirian, dan muncul pada posisi tertentu, dan kata-kata yang jumlahnya lebih besar, yang munculnya tidak sesring seperti yang ada pada (a) posisinya juga dimana saja, dan bisa muncul sendirian. Kata-kata pada (a) dinamakan pivot karena ujaran anak berkisar pada kata-kata ini, dan pada (b) dinamakan open, terbuka.
Bagan 3
 
Bagan 4
 
                Subjek penelitian Braine selalu memakai want, get, there dan it sebagai kata-kata pivot. Untuk kategori terbuka banyak kata yang dipakai seperti baby, car, ball, doll, bunny, dan horsie. Anak tampaknya telah merumuskan tata bahasa yang berbunyi kira-kira seperti ini: “Sebuah kalimat terdiri atas (a) pivot tipe 1 yang diikuti oleh kelompok kata terbuka atau (b) kelompok kata terbuka yang diikuti oleh pivot tipe 2” (Aitchison dalam Dardjowidjojo, 2005:251). Tata bahasa seperti ini dikenal dengan nama Pivot Grammar.

Pivot  1
Open
Want
Get
There
It
Baby
Ball
Dook
Daddy
Open
Pivot 2
Bunny
Daddy
Do
               
a.       Pivot Grammar ini terjadi pada anak usia 4—9 tahun, hal ini tidaklah dapat digeneralisasikan karena meskipun ada prinsipel universal pada bahasa, bagaimana dan kapan anak benar-benar memperoleh suatu butir tata bahasa ditentukan oleh bahasa yang sedang diperoleh masing-masing anak.
b.      Contohnya, pada bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia, dimana bentuk pasif sangat dominan, anak sering mendapat masukan yang berupa kalimat pasif dan karenanya membentuk pula pola kalimat pasif jauh lebih awal daripada anak Inggris. Anak-anak Inggris rata-rata baru dapat memakai kalimat pasif pada umur 4;0 sampai8;0. Sebaliknya, Echa telah dapat memakai bentuk pasif seawal umur 1:9 tahun (Dardjowidjojo, 2005:253). Pada Echa, ia menguasai sufiks –in  lebih awal dari kebanyakan prefiks mana pun. Akan tetapi, prefiks di-  telah muncul sebelum dia menguasai sufiks, yakni pada wkatu dia beurumur 1;9  -- dua atau tiga minggu sebelum sufiks –in muncul. Selain itu, Echa juga dapat membedakan kata sebelum dan sesudah  dengan baik saat berusia 4;5 tahun. Perhatikan dialog berikut :
EK           : Echa tadi nyuci sebelum masak apa sesudah masak?
Echa       : Sesudah masak
EK           : Sesudah masak. Terus, masaknya sebelum nyuci apa sesudah nyuci?
Echa       : Sebelum nyuci.
Nampak terlihat dari dialog tersebut bahwa Echa telah menguasai bahasa secara struktur dan secara sintaksis yang bermakna saat ia berusia 4;5 tahun. Ia dapat membedakan makna sebelum dan sesudah  dalam sebuah ujaran pertanyaan yang berstruktur, sekaligus bisa merespon ujaran tersebut dengan baik. Pada Echa, kalimat koordinatif justru belum muncul sampai umur 5:0 sedangkan kalimat sibordinatif sudah muncul lebih dahulu (Dardjowidjojo 2000). Dan anak Indonesia seperti Echa rupanya tidak mengalami kesulitan dalam menguasai MDP (Minimal Distance Principle) yaitu suatu prinsip yang dikembangkan Chomsky. MDP mengatakan bahwa nomina yang paling dekat dngan verba pada kalimat kompleme adalah subjek dari verba kalimat komplemen tersebut. Misalnya pada kalimat 1) ‘ Kami memohon John untuk datang besok, kalimat 2) ‘Mama meminta John datang besok’ dan kalimat 3)’Ayah ingin John untuk datang besok‘ . Ketiga kalimat ini diketahui bahwa subjek kalimat komplemen ini adalah John, karena John-lah yang denkat dengan verba ‘come’,  sehingga John-lah yang harus datang besok bukan kami, bukan ayah, dan bukan mama. Kalimat ini dapat dikuasai Echa saat berusia 4;4 dan perkecualiannya dengan baik
6.            Critical period atau sebagian ahli menyebutnya dengan golden age (masa emas) yaitu suatu masa tertentu ketika otak anak sensitif atau luwes dalam memperoleh bahasa. Batasan usia critical period ini juga masih belum jelas. Hanya dikatakan masa ini adalah masa sejak anak itu lahir sampai masa pubertas. Tetapi batasan pubertas itu berapa tahun, juga belum jelas. Namun, sebelum mencapai umur belasan, sekitar umur 12 tahunan, anak mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang disajikan padanya secara natif. Hal ini  nampak terutama pada aksennya. Gejala ini dinyatakan dalam hipotesis yang bernama Hipotesis Umur Kritis (Critical Age Hypothesis) yang diajukan oleh Lenneberg (1967). Pada esensinya hipotesis ini mengatakan bahwa anatar umur 2 sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa mana pun dengan kemampuan seorang penutur asli. Jadi, seandainya ada keluarga Amerika yang tinggal di Jakarta dan kemudian mereka melahirkan anak, dan anak itu bergaul denganorang-orang Indonesia sampai dengan umur 5—7 tahun, dia pasti akan dapat berbahasa Indonesia Jakarta seperti anak Jakarta yang lain. Begitu juga sebaliknya: anak Indonesia yang lahir besar di New York dan bergaul dengan orang New York akan berbicara bahasa Inggris New York seperti orang New York. (Dardjowidjojo, 2005: 218—219).
Hal ini terjadi karena sebelum umur 12 tahun pada anak belum terjadi lateralisasi, yakni hemisfer kanan belum ‘dipisah’ untuk diberi tugas sendiri-sendiri. Keduanya masih lentur dan masih dapat menerima tugas apa pun. Itu pulalah sebabnya mengapa orang yang kena stroke pada umur di bawah sekitar 12 tahun akan dapat pulih 100% dalam memperoleh bahasa sedangkan orang dewasa akan kecil kemungkinannya untuk sembuh total.
Setelah masa puber mulai, yakni umur 12 tahun, lateralisasi terjadi. Otak sudak tidak sefleksibel seperti sebelumnya. Kemampuan untuk berbahasa seperti penutur asli sudah berkurang. VOT untuk bunyi vois juga tidak akan akurat lagi. Hal-hal inilah yang menyebabkan mengapa orang dewasa yang belajar bahasa asing akan hampir selalu kedengaran seperti orang asing, meskipun orang ini kemudian lama tinggal di negara di mana bahasa itu dipakai sehari-hari. Dia mungkin sekali akan dapat menguasai tata bahasanya dengan sempurna, tetapi aksen dia tetap akan kentara sebagai aksen asing.
Hipotesis Umur Kritis banyak diperbincangkan orang dan dianut banyak orang. Krashen dalam Dardjowidjojo (2005:219), beranggapan bahwa lateralisasi itu sudah terjadi jauh lebih awal, yakni, sekitar umur 4—5 tahun.
Konsep critical age untuk pemerolehan bahasa pertama ini meskipun sangat minim dengan bukti-bukti tetapi beberapa ahli mempunyai hipotesis bahwa ada batasan usia untuk belajar bahasa. Seorang anak bila melampaui batas usia itu baru dikenalkan dengan bahasa maka tidak mungkin baginya untuk menguasai bahasa dengan benar. Hal ini seperti yang dituliskan Lenneberg dalam buku Steinbergh & Sciarini (102) ada kemungkinan berkaitan dengan perubahan dalam otak manusia (maturation of the brain). Salah satu bukti yang bias mendukung adanya konsep critical age of language ini adalah dari penelitian beberapa anak yang terisolasi dan belum mengenal bahasa pada saat sebelum pubertas, seperti yang terjadi pada Ginie, Isebelle dan Helen seperti yang dicontohkan dalam bagian behaviourism. Helen dan Isabelle menguasai bahasa lebih cepat dan lebih baik. Helen mulai belajar bahasa pada usia 6 tahun dan Isabelle pada usia 7 tahun. Di sisi lain Ginie, yang pada saat mulai belajar bahasa usianya hampir dua kali usia Helen dan Isabelle, tidak menguasai bahasa sebaik Hellen dan Isabelle.
Sesungguhnya bukti-bukti di atas juga tidak memberi garansi yang meyakinkan tentang critical age ini. Masih banyak faktor dan data yang belum diketahui. Dari pembuktian di atas hanya dapat dikatakan bahwa jika memang ada batas usia untuk critical age ini yaitu dari lahir hingga paling tidak sampai 6 atau 7 tahun. Batas maksimumnya tidak akan lebih muda dari usia 6 atau 7 tahun.
8.            Anak menguasai fonem [o] lebih lambat daripada fonem [a] karena pada saat anak berusia 6—8 bulan, bayi seringkali melakukan babbling yaitu proses pengeluaran bunyi-bunyi yang didalamnya terdapat berbagai ragam bunyi dalam vokasionalisasinya baik bunyi vokal maupun konsonan. Pada tahap ini, bunyi konsonan yang pada hakikatnya ciri pembeda antara bunyi vokal dan konsonan adalah ada tidaknya hambatan di artikulasi, maka bayi saat proses bubbling selalu membunyikan bunyi konsonan bilabial /p/, /m/ atau /b/ yaitu [ba-ba], [ma-ma], [pa-pa]. Bunyi tersebut diulang terus menerus oleh bayi saat bubbling. Sedangkan menurut Jakobson dan Hall dalam Chaer (2003:204) bahwa pemerolehan bunyi konsonan dimulai dari bunyi bibir (bilabial); sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai dengan satu vokal lebar, tidak bulat (open) yaitu bunyi [a]. Dan kedua fonem antara konsonan bilabial [p,m,b] bergabung dengan vokal lebar,bulat (open) [a] ini terjadi saat bayi masih dalam proses bubbling dan dilakukan secara berulang, sehingga fonem yang lebih mudah dikuasai daripada fonem [o]. Karena fonem [o] merupakan fonem bulat,dan tertutup, maksutnya adalah ketika bayi berusia 6-8 bulan dipaksa untuk membunyikan fonem [o] akan kesulitan untuk mebulatkan bibirnya dan menutup bibir agar dapat menghasilkan fonem [o]. Selain itu menurut Jkobson dalam Chaer (2003;205) menyatakan bahwa kontras vokal pertama yang diperoleh anak-anak adalah kontras vokal lebar yaitu fonem [a] dengan vokal [i]. Kemudian diikuti oleh kontras vokal sempit depan [i] dengan vokal sempit belakang [u], sesudah itu baru antara vokal [e] dan vokal [u]; vokal [o] dengan vokal [e]. Sehingga hal inilah yang menyebabkan anak lebih mudah menirukan dan mengucapkan fonem [a] daripada fonem [o].
10.           Salah satu ciri dari bahasa itu bahwa hubungan antara kata dengan benda, perbuatan, atau keadaan yang dirujukannya itu arbitrer (arbitrary). Tidak ada alasan mengapa suatu benda kita namakan [nasi] dan suatu perbuatan kita namakan [lari]. Kaitan ini semata-mata merupakan konvensi, persetujuan, diantara para pemakai bahasa. Orang Inggris menamakan [rice] dan [run]. Sedangkan orang Jawa menamakan [sego] dan [mlayu].
     Hal ini berkaitan dengan sistem dalam bahasa. Sistem yang terdiri atas simbol-simbol. Contohnya, simbol kata [blue], [itu], [book]. Karena bahasa adalah lisan, maka simbol-simbol lisan ini juga lisan dan simbol ini bersifat arbitrer. Contoh lain misalnya, bunyi binatang yang dinamakan onomatopea, sering dipakai sebagai argumentasi untuk menyanggah sifat arbitrer ini, tetapi bunyi-bunyi binatang ini pun sebenarnya arbitreri. Seekor ayam jantan dan kucing mengeluarkan bunyi yang kita dengan, lalu kita simbolnya bunyinya dengan bunyi ayam jantan /kukuluruk/ dan bunyi bunyi kucing /ngeong/,tetapi apakah kedua binatang itu juga mengeluarkan bunyi yang sama saat di telinga orang Inggris? Tentu tidak, karena meskipun bunyi kedua binatang itu sama, menurut telinga orang Inggris, bunyi ayamadalah /cock-a-doodle-do/ dan bunyi kucing adalah /meow/ (Dardjowidjojo, 2005:15—17).
     Selain itu ada juga pendapat dari Chaer (1994:45—47) bahwa ada sejumlah kata dalam bahasa apa pun, yang  lambangnya berasal dari bunyi benda yang diwakilinya. Misalnya, lambang [meong] dalam bahasa Indonesia, yang memunyai hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis binatang buasa yang bunyinya /meong/; atau lambang bunyi /cicak/ yang memunyai hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis reptil yang bunyinya /cak-cak-cak/.
     Jadi, kata-kata yang disebut onomatope (kata yang berasal dari tiruan bunyi) ini lambangnya memberi ‘saran’ atau ‘petunjuk’ bagi konspe yang dilambangkannya tidak bersifat arbitrer, karena paling tidak ada ‘saran’ bunyi yang menyatakan hubungan itu.
     Namun, kalau diteliti lebih jauh yang disebut onomatope ini pun, ternyata tidak persis sama antara bahasa yang satu dengan bahasa lainnya. Bunyi ayam jantan yang dalam bahasa Indonesia dan dialek Jakarta berbunyi /kukuruyuk/ ternyata dalam bahasa Sunda berbunyi [kongkorongok]; bunyi letusan senjata api yang dalam yang dalam bahasa Indonesia berbunyi /tar/, /dar/,atau /dor/ dan dalam bahasa Inggris berbunyi /pang/; begitu pun bunyi meriam yang dalam bahasa Indonesia berbunyi /blegur/ atau /jlegur/ tetapi dalam bahasa Inggris berbunyi /blam/.
    Kalau ditanya, mengapa bunyi benda yang sama terdengar berbeda oleh dua penutur bahasa yang berlainan, agak sukarlah menjawabnya. Mungkin karena disebabkan oleh kearbitreran bahasa itu, atau juga karena sistem bunyi bahasa-bahasa tidak sama.
11.     The high amplitude sucking procedure adalah salah satu metode studi perkembangan pemerolehan bahasa untuk memahami bahasa pada anak sejak bayi lahir yang artinya ‘prosedur pengukuran tinggi rendah tingkat isapan bayi’ saat pertama kali lahir. Telah diketahui bahwa seorang bayi mengisap air susu dalam ritme yang stabil jika tidak ada hal tertentu yang menarik perhatiannya, akan tetapi sang bayi akan bereaksi menghisap lebih cepat jika ada suatu hal yang menarik perhatinnya. Fenomena ini dapat digunakan dalam penelitian tentang kemampuan bayi membedakan segi bahasa yang mirip, perubahan ritme menghisap air susu pada bayi menunjukkan bahwa bayi tersebut dapat mengenali suatu bunyi atau suara yang berbeda dari bunyi atau suara yang telah diberikan sebelumnya. 
Pada umur 1-4 bulan, anak-anak memiliki sensor motorik yang baik. Mereka terlahir dengan kemampuan reflek menghisap dengan mulutnya, entah itu makanan ataupun benda-benda lainnya. Karena kemampuan ini dapat diukur oleh suatu alat, maka para peneliti menggunakan teknik ini untuk mengetahui kemampuan anak dalam memahami bahasa. Anak-anak diberikan stimulus cahaya visual untuk mengatur kekuatan hisapnya. Lalu membiasakan mereka untuk dapat membedakan /ba/ dan /pa/.
12.          Child directed speech  adalah istilah lain dari motherese atau parentese yang artinya bahasa sang ibu yaitu bahasa yang dipakai oleh orang dewasa pada waktu berbicara dengan anak yang sedang dalam proses memperoleh bahasa ibunya. Bahasa seorang anak umur 15 tahun, saat berbicara dengan adiknya yang berumur 2 tahun adalah juga bahasa sang ibu. Bahasa sang ibu mempunyai ciri-ciri khusus; a) kalimatnya umumnya pendek-pendek, b) nada suaranya biasanya tinggi, c) intonasinya agak berlebihan, d) laju ujaran agak lambat, e) banyak redundansi (pengulangan), dan f) banyak memakai kata sapaan (Moskowitz dalam Dardjowidjojo, 2005:242).
                Ciri ini makin lama makin berkurang sesuai dengan perkembangan anak. Dalam hal laju  ujrana, kecepatak ujaran orang dewasa pada anak 50% dari kecepatan waktu bicara dengan orang dewasa yang lain. Prosentase ini akan naik secara gradual.
               


Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003. Psikologilinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Dariyo, Agoes. 2011. Perkembangan Psikologi: Anak Tiga Tahun Pertama. Bandung:  Refika Aditama.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
F.Kess, Joseph. 1992. Psycholinguistics (Psychology, Linguistics, and The Study of Natural Language).
Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
http://www.bimbie.com/belajar-bahasa.htm diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013.
2013 Oktober 2013.
Kunert, Richard & Raquel Fern´andez. 2011. Adaptation in Child Directed Speech: Evidence from
Corpora (SemDial 2011: Proceedings of the 15th Workshop on the Semantics and Pragmatics of Dialogue, pages 112–119) (http://staff.science.uva.nl/~jzuidema/research/kunertFernandezZuidema11semdial.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Langacker, Ronald W.1972. Fundamental of Linguistics Analysis. New York: Harcourt Brace
Lyons, John. 1981. Language and Linguistics. London: Cambridge University Press.
Lyons, John. 1981. Semantics I & II. London: Cambridge University Press.
Steinberg, Danny D (Ed.). 1971. Semantics: An Interdiciplinary Reader in Philosophy Linguistics and
Psychology. London: Cambridge UNiversity Press. (http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/Buku Psikolinguistik/Buku_Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Steinberg, Danny D., Natalia V. Sciarini. 2006. An Introduction to Psycholinguistics. Britai Longman.
Steinberg, Danny D (Ed.). 1971. Semantics: An Interdiciplinary Reader in Philosophy Linguistics and
Psychology. London: Cambridge University Press. (http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/Buku_Psikolinguistik/Buku_Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Suroso, Iman. 2011. Menumbuhkan Motivasi dalam Pembelajaran Bahasa Kedua (paper). Semarang:
Politeknik Negeri Semarang (http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_4%20des_2011.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar