Artikel Psikolinguistik "Semoga Bermanfaat""
1.
Pada hakikatnya disiplin ilmu psikologi lebih
mengarah pada pembahasan di bidang psikologi daripada ilmu bahasa (linguistik),
sedangkan psikolinguistik lebih mengarah pada bidang kajian linguistik daripada
ilmu jiwa (psikologi). Anggapan tersebut ada juga benarnya. Karena istilah psikologi,
yang disebut psychologia (bahasa Latin) atau psychology (bahasa
Inggris), berasal dari bahasa Yunani psycho = jiwa‘ + logos =
kajian, ilmu‘. Secara harfiah, psikologi
itu diartikan ilmu jiwa. Istilah ini mulai dipakai pada tahun 1530 oleh seorang
Jerman yang bernama Philipp Melanchton dalam ceramah akademisnya mengenai jiwa,
untuk membedakannya dari pneumatologi, yakni kajian jiwa manusia yang
berkaitan dengan malaikat, roh jahat, dan Tuhan. Psikologi adalah studi ilmiah
mengenai perilaku manusia dan proses-proses yang berkaitan dengan perilaku
tersebut, baik perilaku individual maupun perilaku sosial (Sukadji, 1986:1.3). Pengertian psikologi tersebut
sesuai dengan kenyataan yang ada selama ini, yakni para psikolog pada umumnya
menekankan penyelidikan terhadap perilaku manusia yang bersifat jasmaniah
(aspek psikomotor) dan yang bersifat rohaniah (kognitif dan afektif). Tingkah
laku psikomotor (ranah karsa) bersifat terbuka, seperti berbicara, duduk,
berjalan, dsb., sedangkan tingkah laku kognitif dan afektif (ranah cipta dan
ranah rasa) bersifat tertutup, seperti berpikir, berkeyakinan, berperasaan,
dsb. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa psikologi
ialah ilmu pengetahuan mengenai prilaku manusia baik yang tampak maupun yang
tidak tampak dan tidak mengarah kepada perilaku berbahasa pada manusia.
Sedangkan objek psikolinguistik
adalah bahasa, gejala jiwa, dan
hubungan di antara keduanya.
Bahasa yang berproses dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala jiwa.
Bahasa dilihat dari aspek psikologis, yakni proses bahasa yang terjadi pada
otak (mind), baik pada otak pembicara maupun otak pendengar.
Sejalan dengan pendapat tersebut (Slobin, dalam Chaer, 2003:
5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses
psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang
didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh
manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003: 6) berpendapat bahwa psikolinguistik
mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur itu
diperoleh, digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami
kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Pada hakikatnya dalam kegiatan
berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran.
Berikut ini disajikan beberapa
definisi psikolinguistik dari para pakar sebagai bahan pemahaman.
“Psycholinguistics investigates
the interrelation of language and mind in processing and producing utterances
and in language acquisition”(Hartley,
1982:16). Psikolinguistik membahas hubungan
bahasa dengan otak dalam memproses dan menghasilkan ujaran dan pemerolehan
bahasa.
Psycholinguistics deals directly
with the processes of encoding and decoding as they relate states of message to
states of communicators” (Osgood & Sebeok, dalam Stern, 1983:296).
Psikolinguistik secara langsung berhubungan dengan proses penyandian dan pemahaman
sandi seperti pesan yang disampaikan oleh para pelibat komunikasi].
Psikolinguistik adalah pendekatan
gabungan melalui psikologi dan linguistik bagi telaah atau studi pengetahuan
bahasa, bahasa dalam pemakaian, perubahan bahasa, dan hal-hal yang berkaitan
dengan itu, yang tidak mudah dicapai atau didekati melalui salah satu dari
kedua ilmu tersebut secara terpisan atau sendiri-sendiri‖ (Lado, 1976:220).
Psikolinguistik adalah suatu ilmu
yang meneliti bagaimana pemakai suatu bahasa membangun dan memahami
kalimat-kalimat bahasa tersebut‖ (Emmon
Bach, 1964:64). Psycholinguistics is the study of language acquisition
and linguistic behavior, as well as the psychological mechanisms responsible
for them” (Langacker, 1973:6). Psikolinguistik
adalah telaah pemerolehan bahasa dan perilaku linguistik, terutama mekanisme
psikologis yang bertanggung jawab atas kedua aspek itu.
Untuk lebih memahami ranah kedua
disiplin ilmu antara psikologi dan psikolinguistik, Spolsky (1978:5) dalam http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/jur._pend._bahasa_daerah/buku_psikolinguistik/psiko menggambarkan kedudukan psikolinguistik sebagai berikut.
![]() |
Nampak terlihat berdasarkan gambar
tersebut, kedudukan disiplin ilmu psikolinguistik tersebut dapat disimpulkan
bahwa psikolinguistik membahas psikologi dari segi teori bahasa secara umum
(linguistik umum), teori belajar bahasa, teori pengajaran bahasa, sosiolinguistik
yang dapat memengaruhi pemerolehan bahasa seseorang dengan berbagai proses
dalam jiwa manusia yang tercermin dalam gejala jiwa. Bahasa dapat dilihat dari
aspek psikologis, yakni proses bahasa yang terjadi pada otak (mind),
baik pada otak pembicara maupun otak pendengar. Bagaimana manusia memeroleh
bahasa dan beberapa teori belajar bahasa saat manusia pertama kali memahami
bahasa dalam proses ujaran. Namun, dalam kajian disiplin ilmu psikologi tidak
membahas secara mendalam mengenai hubungan manusia saat mengenal bahasa pertama
kali, karena ilmu psikologi hanya memfokuskan objek kajiannya hanya dari segi perilaku
manusia dan proses-proses yang berkaitan dengan perilaku tersebut, baik
perilaku individual maupun perilaku sosial.
3. Metode
longitudinal merupakan salah satu metode
penelitian bahasa anak dengan
cara meneliti subjek secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang.
Longitudinal meneliti perkembangan sesuatu yang sedang dikaji, sehingga rentang
waktu satu – empat bulan belum bisa menunjukkan gambaran tentang perkembangan
sesuatu yang dikaji (Dardjowidjojo, 2008:227). Ahmadi dan Sholeh dalam “Psikologi Perkembangan”
menjelaskan bahwa penilitian longitudinal merupakan cara meneliti seseorang
atau beberapa orang anak tertentu mulai dari dalam kandungan, lahir hingga
dewasa, tanpa diadakan cross (silang) dengan pembanding anak lainnya
(Ahmadi, 2005:13-14). Akan tetapi metode penelitian ini memiliki kelemahan yang
memungkinkan adanya gangguan kontinuitas peneliti. Artinya, peneliti dapat
mengalami pemutusan proses penelitian antara lain sakit parah, pindah tempat
dan lain-lainnya. Sehingga dengan melihat kelemahan dari metode
tersebut maka didaptkan metode untuk mempercepat atau mempersingkat dari metode
longitudinal yaitu dengan metode Cross
Section.
Ahmadi dan Sholeh mendefinisikan Cross Section sebagai sebuah metode
penelitian yang dilakukan terhadap seorang anak atau lebih yang seusia untuk
selanjutnya subjeknya disilang (cross) dengan anak atau sekelompok anak
lainnya yang mempunyai taraf usia setingkat di atasnya dalam waktu penelitian
yang bersamaan, dan kemudian hasil penelitian subjek-subjek yang mempunyai
taraf usia bertingkat itu digabungkan sebagai wujud hasil akhir penelitian.
(Ahmadi, 2005: 13).
Cross-sectional lebih mementingkan banyaknya data dari subjek yang
lebih dari satu, dalam waktu yang relatif singkat. Penelitian yang dilakukan
pun bukan mengenai hal yang menyangkut perkembangan bahasa anak, akan tetapi
tentang materi yang lebih mengarah ke gramatikal bahasa.
Berdasarkan definisi tersebut dapat dipahami
bahwa penelitian ini merupakan suatu pendekatan yang dipergunakan untuk
melakukan penelitian terhadap masa perkembangan seorang anak atau sekelompok
anak dalam jangka waktu yang relatif singkat tanpa harus mengikuti perjalanan
hidup secara kronologis pada subjek penelitian. Hal ini dilakukan oleh peneliti
dengan tujuan untuk menghemat waktu, tenaga dan biaya penelitian. Pendekatan
ini digunakan untuk meneliti berbagai anak yang berbeda, namun Dariyo
menyatakan bahwa penelitian ini dapat dilakukan meskipun oleh satu orang
peneliti saja (Dariyo, 2011: 61).
Contohnya, untuk mengetahui bagaimana anak mampu menginterpretasikan
kalimat pasif, peneliti akan mengumpulkan anak dalam tiga kelompok untuk
kemudian diberikan pertanyaan yang dapat dijadikan pencapaian bahwa anak
tersebut mampu menguasai materi atau tidak. Kedua desain tersebut dapat
dilakukan baik secara observasional maupun eksperimental.Pada tipe natural,
peneliti tidak mengadakan interferensi apapun. Anak-anak dibiarkan
berbahasa secara natural di tempat manapun. Sedangkan pada tipe terkontrol,
anak-anak berada dalam pengawasan laboratorium.
Dalam pendekatan ini penelitian dilakukan
terhadap anak-anak atau kelompok orang dari tingkatan umur yang berbeda-beda.
Misalnya, seorang peneliti akan meneliti perkembangan pemerolehan bahasa anak
selama masa balita. Maka peneliti tidak harus meneliti seorang anak yang
berusia 24 bulan kemudian anak tersebut diteliti sampai genap berusia 60 bulan.
Dalam menggunakan pendekatan ini, peneliti hanya akan mencari sejumlah subjek
yang berusia 2 tahun yaitu kelompok A, 3 tahun yaitu kelompok B, dan
4 tahun untuk kelompok C. Kemudian penelitian dilakukan selama 1
tahun, maka akan didapatkan laporan hasil penelitian perkembangan pemerolehan
bahasa anak usia 25 sampai 36 bulan, usia 37 sampai 48 bulan dan usia 49 sampai
60 bulan. Laporan penelitian tersebut kemudian digabungkan dan disimpulkan
sebagai wujud hasil akhir penelitian terhadap seorang anak yang memperoleh
bahasa ibunya selama masa balita. Berikut jika digambarkan dengan ilustrasi
perhitungan masa penelitian dari sekelompok anak yang berusia 2 tahun (25—36
bulan) untuk kelompok A, 3 tahun (37—48 bulan) untuk kelompok B,
dan 4 tahun (49—60 bulan) untuk kelompok C.
![]() |
|||
![]() |
Dalam pendekatan ini, sekelompok
anak yang mempunyai usia berbeda tersebut tidak hanya dapat dibandingkan dalam
hal pemerolehan bahasa. Pada sekelompok anak tersebut juga dapat dilakukan
penelitian tentang keberagaman variabel terikat lain seperti: IQ, memori,
relasi teman sebaya, kedekatan dengan orang tua, dan perubahan hormon (Desmita,
2009: 61).
Keunggulan utama dalam menggunakan
pendekatan Cross Section ini adalah bahwa para peneliti tidak membutuhkan waktu
yang terlalu lama untuk menunggu individu bertumbuh. Selain itu, penelitian ini
juga dapat memberikan gambaran karakteristik psikologis responden yang
berbeda-beda usianya itu. Kelemahan dalam metode penelitian ini ialah hasil
penelitian tak dapat seakurat dengan metode penelitian jangka panjang.
Masing-masing subjek yang berbeda usia memiliki karakteristik khusus sehingga
sulit untuk melakukan generalisasi terhadap perkembangan masing-masing subjek
tersebut. Di samping itu, pendekatan ini tidak memberi informasi tentang bagaimana
individu berubah atau tentang stabilitas karakteristiknya. Naik turunnya
perkembangan subjek penelitian dapat menjadi tidak jelas (Desmita, 2009: 61).
4. Motivasi
adalah salah satu faktor yang memberikan kontribusi pada keberhasilan pembelajaran
bahasa kedua. Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985)
mendefinisikan motivasi sebagai faktor yang menentukan keinginan (desire)
seseorang untuk melakukan sesuatu. Definisi sejenis dapat dijumpai dalam Brown
(1987) yang menyatakan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam sesaat, emosi atau keinginan yang menggerakkan
seseorang untuk melakukan sesuatu.
Namun, selain
faktor motivasi ada sebab-sebab
mengapa orang tersebut tidak bisa menguasai bahasa baru itu dengan baik yakni karena faktor usia. Maksudnya adalah
ada anggapan umum dalam pembelajaran bahasa kedua bahwa anak-anak lebih
baik dan berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang
dewasa (Djunaidi dalam Chaer, 2003:252). Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam
memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa tampaknya mendapat kesulitan
dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini telah mengarahkan
pada adanya hipotesis mengenai usia kritis atau periode kritis (Lenneberg dalam
Chaer, 2003:252). Selain itu, ada faktor penyajian formal yaitu faktor yang
memengaruhi seseorang dalam melewati sistem pembelajaran bahasa kedua di
lingkungan yang formal, misalnya di lingkungan pendidikan/ sekolah, dengan
kesengajaan, dengan perangkat formal pembelajaran, seperti kurikulum, metode,
guru, media pembelajaran, materi pembelajaran, dan sebagainya. Hal ini pula
bisa mempercepat, namun jika lingkungan sosial tempat pembelajar itu berada
tidak mendukung pembelajaran bahasa kedua dari orang tersebut, maka tidak akan
mampu menguasai bahasa kedua, jika orang tersebut kurang merespon lingkungan
sosial di sekitarnya yang pada hakikatnya menggunakan bahasa kedua tersebut,
maka sulit juga orang tersebut untuk mampu menguasai bahasa keduanya. Dan yang
ketiga faktor peranan koreksi terhadap kecepatan dan keberhasilan memperoleh
bahasa kedua, ketika pembelajar bahasa kedua ini menggunakan kompetensi
berbahasa yang baru saja ia peroleh yaitu bahasa keduanya dan lingkungan
sekitar tidak ada yang memberikan peran koreksi terhadap pembelajar bahasa
kedua, maka orang tersebut itu akan semakin sulit dan lama untuk mengetahui
kesalahan-kesalahan yang terjadi saat ia belajar dalam menggunakan bahasa kedua.
Dan keempat adalah peran frekuensi dalam pembelajaran bahasa kedua. Disaat
pembelajar bahasa kedua tersebut dalam kondisi frenkuensi dalam pengenalan
bahasa kedua tersebut sangat jarang/renggang, maka keterampilan pembelajaran
bahasa kedua pun akan lama dikuasai, dan sebaliknya.
5. Kajian mengenai
pemerolehan sintaksis oleh kanak-kanak dimulai oleh Braene (1963), Bellugi (1964),Brown
dan Fraser (1964) dan Miller dan Ervin (1964). Menurut kajian awal ini ucapan
dua kata kanak-kanak ini terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan
frekuensi munculnya kata-kata itu dalam kalimat. Kedua jenis kata ini kemudian
dikelan dengan nama kelas Pivot dan kelas terbuka. Kemudian berdasarkan
kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa pivot (pivot grammar). Pada umumnya kata-kata
yang termasuk kelas pivot adalah kata-kata fungsi (function words), sedangkan yang termasuk kelas kata terbuka adalah
kata-kata isi (content words) atau
kata penuh (full words) seperti
kata-kata berkategori nomina dan verba (Chaer, 2003:184).
Pada tahun 1963 Martin
Braine, Universitas California di Santa Barbara, mendapati dalam penelitiannya
bahwa urutan dua kata yang dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu.
Kata-kata tertentu selalu berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata
yang tidak pernah muncul sendirian. Ketiga anak yang ia selidiki tampanya
membagi kata-kata mereka menjadi dua kelompok: a) kata-kata yang sering muncul,
yang tidak pernah sendirian, dan muncul pada posisi tertentu, dan kata-kata
yang jumlahnya lebih besar, yang munculnya tidak sesring seperti yang ada pada
(a) posisinya juga dimana saja, dan bisa muncul sendirian. Kata-kata pada (a)
dinamakan pivot karena ujaran anak
berkisar pada kata-kata ini, dan pada (b) dinamakan open, terbuka.
|
|
Pivot 1
|
Open
|
Want
Get
There
It
|
Baby
Ball
Dook
Daddy
|
Open
|
Pivot 2
|
Bunny
Daddy
|
Do
|
a.
Pivot Grammar ini terjadi
pada anak usia 4—9 tahun, hal ini tidaklah dapat digeneralisasikan karena
meskipun ada prinsipel universal pada bahasa, bagaimana dan kapan anak
benar-benar memperoleh suatu butir tata bahasa ditentukan oleh bahasa yang
sedang diperoleh masing-masing anak.
b.
Contohnya, pada bahasa-bahasa
seperti bahasa Indonesia, dimana bentuk pasif sangat dominan, anak sering
mendapat masukan yang berupa kalimat pasif dan karenanya membentuk pula pola
kalimat pasif jauh lebih awal daripada anak Inggris. Anak-anak Inggris
rata-rata baru dapat memakai kalimat pasif pada umur 4;0 sampai8;0. Sebaliknya,
Echa telah dapat memakai bentuk pasif seawal umur 1:9 tahun (Dardjowidjojo,
2005:253). Pada Echa, ia menguasai sufiks –in
lebih awal dari kebanyakan prefiks
mana pun. Akan tetapi, prefiks di- telah
muncul sebelum dia menguasai sufiks, yakni pada wkatu dia beurumur 1;9 -- dua atau tiga minggu sebelum sufiks –in muncul. Selain itu, Echa juga dapat
membedakan kata sebelum dan sesudah dengan baik saat berusia 4;5 tahun. Perhatikan
dialog berikut :
EK : Echa tadi nyuci sebelum masak apa
sesudah masak?
Echa : Sesudah masak
EK : Sesudah masak. Terus, masaknya
sebelum nyuci apa sesudah nyuci?
Echa : Sebelum nyuci.
Nampak terlihat dari dialog tersebut bahwa Echa telah
menguasai bahasa secara struktur dan secara sintaksis yang bermakna saat ia
berusia 4;5 tahun. Ia dapat membedakan makna sebelum dan sesudah dalam sebuah ujaran pertanyaan yang
berstruktur, sekaligus bisa merespon ujaran tersebut dengan baik. Pada Echa,
kalimat koordinatif justru belum muncul sampai umur 5:0 sedangkan kalimat
sibordinatif sudah muncul lebih dahulu (Dardjowidjojo 2000). Dan anak Indonesia
seperti Echa rupanya tidak mengalami kesulitan dalam menguasai MDP (Minimal
Distance Principle) yaitu suatu prinsip yang dikembangkan Chomsky. MDP
mengatakan bahwa nomina yang paling dekat dngan verba pada kalimat kompleme
adalah subjek dari verba kalimat komplemen tersebut. Misalnya pada kalimat 1) ‘
Kami memohon John untuk datang besok, kalimat 2) ‘Mama meminta John datang
besok’ dan kalimat 3)’Ayah ingin John untuk datang besok‘ . Ketiga kalimat ini
diketahui bahwa subjek kalimat komplemen ini adalah John, karena John-lah yang denkat dengan verba ‘come’,
sehingga John-lah yang harus
datang besok bukan kami, bukan ayah, dan bukan mama. Kalimat ini dapat dikuasai Echa saat berusia 4;4 dan
perkecualiannya dengan baik
6. Critical period atau sebagian ahli
menyebutnya dengan golden age (masa
emas) yaitu suatu masa tertentu ketika otak anak sensitif atau luwes dalam
memperoleh bahasa. Batasan usia critical
period ini juga masih belum jelas. Hanya dikatakan masa ini adalah masa
sejak anak itu lahir sampai masa pubertas. Tetapi batasan pubertas itu berapa
tahun, juga belum jelas. Namun, sebelum mencapai umur belasan, sekitar umur 12
tahunan, anak mempunyai kemampuan untuk memperoleh bahasa mana pun yang
disajikan padanya secara natif. Hal ini
nampak terutama pada aksennya. Gejala ini dinyatakan dalam hipotesis
yang bernama Hipotesis Umur Kritis (Critical Age Hypothesis) yang diajukan oleh
Lenneberg (1967). Pada esensinya hipotesis ini mengatakan bahwa anatar umur 2
sampai dengan 12 tahun seorang anak dapat memperoleh bahasa mana pun dengan kemampuan
seorang penutur asli. Jadi, seandainya ada keluarga Amerika yang tinggal di
Jakarta dan kemudian mereka melahirkan anak, dan anak itu bergaul
denganorang-orang Indonesia sampai dengan umur 5—7 tahun, dia pasti akan dapat
berbahasa Indonesia Jakarta seperti anak Jakarta yang lain. Begitu juga
sebaliknya: anak Indonesia yang lahir besar di New York dan bergaul dengan
orang New York akan berbicara bahasa Inggris New York seperti orang New York.
(Dardjowidjojo, 2005: 218—219).
Hal ini terjadi karena sebelum umur 12 tahun pada anak
belum terjadi lateralisasi, yakni hemisfer kanan belum ‘dipisah’ untuk diberi
tugas sendiri-sendiri. Keduanya masih lentur dan masih dapat menerima tugas apa
pun. Itu pulalah sebabnya mengapa orang yang kena stroke pada umur di bawah sekitar 12 tahun akan dapat pulih 100%
dalam memperoleh bahasa sedangkan orang dewasa akan kecil kemungkinannya untuk
sembuh total.
Setelah masa puber mulai, yakni umur 12 tahun,
lateralisasi terjadi. Otak sudak tidak sefleksibel seperti sebelumnya.
Kemampuan untuk berbahasa seperti penutur asli sudah berkurang. VOT untuk bunyi
vois juga tidak akan akurat lagi. Hal-hal inilah yang menyebabkan mengapa orang
dewasa yang belajar bahasa asing akan hampir selalu kedengaran seperti orang
asing, meskipun orang ini kemudian lama tinggal di negara di mana bahasa itu
dipakai sehari-hari. Dia mungkin sekali akan dapat menguasai tata bahasanya
dengan sempurna, tetapi aksen dia tetap akan kentara sebagai aksen asing.
Hipotesis Umur Kritis banyak diperbincangkan orang dan
dianut banyak orang. Krashen dalam Dardjowidjojo (2005:219), beranggapan bahwa
lateralisasi itu sudah terjadi jauh lebih awal, yakni, sekitar umur 4—5 tahun.
Konsep critical age
untuk pemerolehan bahasa pertama ini meskipun sangat minim dengan bukti-bukti
tetapi beberapa ahli mempunyai hipotesis bahwa ada batasan usia untuk belajar
bahasa. Seorang anak bila melampaui batas usia itu baru dikenalkan dengan
bahasa maka tidak mungkin baginya untuk menguasai bahasa dengan benar. Hal ini
seperti yang dituliskan Lenneberg dalam buku Steinbergh & Sciarini (102)
ada kemungkinan berkaitan dengan perubahan dalam otak manusia (maturation of the brain). Salah satu
bukti yang bias mendukung adanya konsep critical
age of language ini adalah dari penelitian beberapa anak yang terisolasi
dan belum mengenal bahasa pada saat sebelum pubertas, seperti yang terjadi pada
Ginie, Isebelle dan Helen seperti yang dicontohkan dalam bagian behaviourism.
Helen dan Isabelle menguasai bahasa lebih cepat dan lebih baik. Helen mulai
belajar bahasa pada usia 6 tahun dan Isabelle pada usia 7 tahun. Di sisi lain
Ginie, yang pada saat mulai belajar bahasa usianya hampir dua kali usia Helen
dan Isabelle, tidak menguasai bahasa sebaik Hellen dan Isabelle.
Sesungguhnya bukti-bukti di atas juga tidak memberi
garansi yang meyakinkan tentang critical
age ini. Masih banyak faktor dan data yang belum diketahui. Dari pembuktian
di atas hanya dapat dikatakan bahwa jika memang ada batas usia untuk critical
age ini yaitu dari lahir hingga paling tidak sampai 6 atau 7 tahun. Batas
maksimumnya tidak akan lebih muda dari usia 6 atau 7 tahun.
8. Anak menguasai
fonem [o] lebih lambat daripada fonem [a] karena pada saat anak berusia 6—8
bulan, bayi seringkali melakukan babbling yaitu proses pengeluaran bunyi-bunyi
yang didalamnya terdapat berbagai ragam bunyi dalam vokasionalisasinya baik
bunyi vokal maupun konsonan. Pada tahap ini, bunyi konsonan yang pada
hakikatnya ciri pembeda antara bunyi vokal dan konsonan adalah ada tidaknya
hambatan di artikulasi, maka bayi saat proses bubbling selalu membunyikan bunyi
konsonan bilabial /p/, /m/ atau /b/ yaitu [ba-ba], [ma-ma], [pa-pa]. Bunyi
tersebut diulang terus menerus oleh bayi saat bubbling. Sedangkan menurut
Jakobson dan Hall dalam Chaer (2003:204) bahwa pemerolehan bunyi konsonan
dimulai dari bunyi bibir (bilabial); sedangkan pemerolehan bunyi vokal dimulai
dengan satu vokal lebar, tidak bulat (open) yaitu bunyi [a]. Dan kedua fonem
antara konsonan bilabial [p,m,b] bergabung dengan vokal lebar,bulat (open) [a]
ini terjadi saat bayi masih dalam proses bubbling dan dilakukan secara berulang,
sehingga fonem yang lebih mudah dikuasai daripada fonem [o]. Karena fonem [o]
merupakan fonem bulat,dan tertutup, maksutnya adalah ketika bayi berusia 6-8
bulan dipaksa untuk membunyikan fonem [o] akan kesulitan untuk mebulatkan
bibirnya dan menutup bibir agar dapat menghasilkan fonem [o]. Selain itu
menurut Jkobson dalam Chaer (2003;205) menyatakan bahwa kontras vokal pertama
yang diperoleh anak-anak adalah kontras vokal lebar yaitu fonem [a] dengan
vokal [i]. Kemudian diikuti oleh kontras vokal sempit depan [i] dengan vokal
sempit belakang [u], sesudah itu baru antara vokal [e] dan vokal [u]; vokal [o]
dengan vokal [e]. Sehingga hal inilah yang menyebabkan anak lebih mudah menirukan
dan mengucapkan fonem [a] daripada fonem [o].
10. Salah satu ciri dari bahasa itu bahwa hubungan antara kata dengan benda,
perbuatan, atau keadaan yang dirujukannya itu arbitrer (arbitrary). Tidak ada
alasan mengapa suatu benda kita namakan [nasi] dan suatu perbuatan kita namakan
[lari]. Kaitan ini semata-mata merupakan konvensi, persetujuan, diantara para
pemakai bahasa. Orang Inggris menamakan [rice] dan [run]. Sedangkan orang Jawa
menamakan [sego] dan [mlayu].
Hal ini
berkaitan dengan sistem dalam bahasa. Sistem yang terdiri atas simbol-simbol.
Contohnya, simbol kata [blue], [itu], [book]. Karena bahasa adalah lisan, maka
simbol-simbol lisan ini juga lisan dan simbol ini bersifat arbitrer. Contoh
lain misalnya, bunyi binatang yang dinamakan onomatopea, sering dipakai sebagai argumentasi untuk menyanggah
sifat arbitrer ini, tetapi bunyi-bunyi binatang ini pun sebenarnya arbitreri.
Seekor ayam jantan dan kucing mengeluarkan bunyi yang kita dengan, lalu kita
simbolnya bunyinya dengan bunyi ayam jantan /kukuluruk/ dan bunyi bunyi kucing
/ngeong/,tetapi apakah kedua binatang itu juga mengeluarkan bunyi yang sama
saat di telinga orang Inggris? Tentu tidak, karena meskipun bunyi kedua
binatang itu sama, menurut telinga orang Inggris, bunyi ayamadalah
/cock-a-doodle-do/ dan bunyi kucing adalah /meow/ (Dardjowidjojo, 2005:15—17).
Selain itu ada
juga pendapat dari Chaer (1994:45—47) bahwa ada sejumlah kata dalam bahasa apa
pun, yang lambangnya berasal dari bunyi
benda yang diwakilinya. Misalnya, lambang [meong] dalam bahasa Indonesia, yang
memunyai hubungan dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis binatang
buasa yang bunyinya /meong/; atau lambang bunyi /cicak/ yang memunyai hubungan
dengan konsep yang dilambangkannya, yaitu sejenis reptil yang bunyinya
/cak-cak-cak/.
Jadi,
kata-kata yang disebut onomatope
(kata yang berasal dari tiruan bunyi) ini lambangnya memberi ‘saran’ atau
‘petunjuk’ bagi konspe yang dilambangkannya tidak bersifat arbitrer, karena
paling tidak ada ‘saran’ bunyi yang menyatakan hubungan itu.
Namun, kalau
diteliti lebih jauh yang disebut onomatope
ini pun, ternyata tidak persis sama antara bahasa yang satu dengan bahasa
lainnya. Bunyi ayam jantan yang dalam bahasa Indonesia dan dialek Jakarta
berbunyi /kukuruyuk/ ternyata dalam bahasa Sunda berbunyi [kongkorongok]; bunyi
letusan senjata api yang dalam yang dalam bahasa Indonesia berbunyi /tar/,
/dar/,atau /dor/ dan dalam bahasa Inggris berbunyi /pang/; begitu pun bunyi
meriam yang dalam bahasa Indonesia berbunyi /blegur/ atau /jlegur/ tetapi dalam
bahasa Inggris berbunyi /blam/.
Kalau ditanya,
mengapa bunyi benda yang sama terdengar berbeda oleh dua penutur bahasa yang
berlainan, agak sukarlah menjawabnya. Mungkin karena disebabkan oleh
kearbitreran bahasa itu, atau juga karena sistem bunyi bahasa-bahasa tidak
sama.
11. The high amplitude
sucking procedure adalah salah satu metode studi perkembangan
pemerolehan bahasa untuk memahami bahasa pada anak sejak bayi lahir yang
artinya ‘prosedur pengukuran tinggi rendah tingkat isapan bayi’
saat pertama kali lahir. Telah diketahui bahwa
seorang bayi mengisap air susu dalam ritme yang stabil jika tidak ada hal
tertentu yang menarik perhatiannya, akan tetapi sang bayi akan bereaksi
menghisap lebih cepat jika ada suatu hal yang menarik perhatinnya. Fenomena ini dapat digunakan
dalam penelitian tentang kemampuan bayi membedakan segi bahasa yang mirip,
perubahan ritme menghisap air susu pada bayi menunjukkan bahwa bayi tersebut
dapat mengenali suatu bunyi atau suara yang berbeda dari bunyi atau suara yang
telah diberikan sebelumnya.
Pada umur 1-4 bulan, anak-anak memiliki sensor motorik yang baik. Mereka
terlahir dengan kemampuan reflek menghisap dengan mulutnya, entah itu makanan
ataupun benda-benda lainnya. Karena kemampuan ini dapat diukur oleh suatu alat,
maka para peneliti menggunakan teknik ini untuk mengetahui kemampuan anak dalam
memahami bahasa. Anak-anak diberikan stimulus cahaya visual untuk mengatur
kekuatan hisapnya. Lalu membiasakan mereka untuk dapat membedakan /ba/ dan
/pa/.
12. Child directed speech adalah
istilah lain dari motherese atau
parentese yang artinya bahasa sang ibu yaitu bahasa yang dipakai oleh orang
dewasa pada waktu berbicara dengan anak yang sedang dalam proses memperoleh
bahasa ibunya. Bahasa seorang anak umur 15 tahun, saat berbicara dengan adiknya
yang berumur 2 tahun adalah juga bahasa sang ibu. Bahasa sang ibu mempunyai
ciri-ciri khusus; a) kalimatnya umumnya pendek-pendek, b) nada suaranya
biasanya tinggi, c) intonasinya agak berlebihan, d) laju ujaran agak lambat, e)
banyak redundansi (pengulangan), dan f) banyak memakai kata sapaan (Moskowitz
dalam Dardjowidjojo, 2005:242).
Ciri ini makin lama makin
berkurang sesuai dengan perkembangan anak. Dalam hal laju ujrana, kecepatak ujaran orang dewasa pada
anak 50% dari kecepatan waktu bicara dengan orang dewasa yang lain. Prosentase
ini akan naik secara gradual.
Daftar Pustaka
Ahmadi,
Abu dan Munawar Sholeh. 2005. Psikologi
Perkembangan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 2003. Psikologilinguistik:
Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar
Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Dariyo,
Agoes. 2011. Perkembangan Psikologi: Anak
Tiga Tahun Pertama. Bandung: Refika
Aditama.
Desmita.
2009. Psikologi Perkembangan.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
F.Kess, Joseph. 1992. Psycholinguistics (Psychology, Linguistics,
and The Study of Natural Language).
Amsterdam: John
Benjamins Publishing Company.
http://www.bimbie.com/belajar-bahasa.htm diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013.
http://ahmadnursaeful13.wordpress.com/2012/07/25/language-acquisition/ diunduh pada tanggal
2013 Oktober 2013.
Kunert, Richard & Raquel Fern´andez. 2011. Adaptation in Child Directed Speech: Evidence from
Corpora (SemDial 2011: Proceedings of the 15th Workshop
on the Semantics and Pragmatics of Dialogue, pages 112–119) (http://staff.science.uva.nl/~jzuidema/research/kunertFernandezZuidema11semdial.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Langacker, Ronald W.1972. Fundamental
of Linguistics Analysis. New York: Harcourt Brace
Jovanovich,Inc.(http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/
Buku_Psikolinguistik/Buku Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Lyons, John.
1981. Language and Linguistics.
London: Cambridge University Press.
(http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/Buku
Psikolinguistik/Buku_Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Lyons, John. 1981.
Semantics I & II. London: Cambridge University Press.
(http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/Buku_Psikolinguistik/Buku_Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Steinberg, Danny D (Ed.). 1971. Semantics:
An Interdiciplinary Reader in Philosophy Linguistics and
Psychology.
London: Cambridge UNiversity Press. (http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/Buku
Psikolinguistik/Buku_Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Steinberg, Danny D., Natalia V. Sciarini. 2006. An Introduction to Psycholinguistics. Britai Longman.
Steinberg, Danny D (Ed.). 1971. Semantics:
An Interdiciplinary Reader in Philosophy Linguistics and
Psychology.
London: Cambridge University Press. (http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/YAYAT_SUDARYAT/Buku_Psikolinguistik/Buku_Psikolinguistik/PSIKO.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Suroso,
Iman. 2011. Menumbuhkan Motivasi dalam
Pembelajaran Bahasa Kedua (paper). Semarang:
Politeknik Negeri Semarang (http://www.polines.ac.id/ragam/index_files/jurnalragam/paper_4%20des_2011.pdf diunduh pada tanggal 20 Oktober 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar