1. Ambiguitas suprasegmental dalam wacana tulis tidak ada karena
dalam wacana tulis, seorang pembaca tidak akan tahu apakah tulisan seperti ‘Begitu ya!!!!’ karena dalam bunyi bahasa berdasarkan unsur-unsur segmennya dibedakan
menjadi 2 yaitu unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur suprasegmental
tersebut adalah unsur bunyi bahasa berupa tinggi rendahnya bunyi (nada), keras
lemahnya bunyi (tekanan), panjang pendeknya bunyi (tempo), dan kesenyapan
(jeda) (Muslich, 2008:61). Selain itu bahasa
terdiri atas aspek, yaitu aspek bentuk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental yaitu unsur bahasa
yang meliputi: fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.
Sedangkan unsur suprasegmental adalah unsur bahasa yang kehadirannya tergantung
dari unsur segmental, yang terdiri dari tekanan keras, tekanan lemah, panjang,
dan sebagainya. Unsur segmental dalam bentuk yang lebih luas disebut sebagai
intonasi. Unsur
segmental dapat tergambar dengan jelas walaupun kadang-kadang masih terdapat
kelemahan. Untuk unsur suprasegmental beserta gerak-gerik wajah belum dapat
dituliskan dengan abjad, persukuan, penulisan kata, dan sebagainya. Sebaliknya,
unsur suprasegmental biasanya dinyatakan secara tertulis melalui tanda-tanda
baca atau pungtuasi.. Sehingga kata ‘Begitu ya!!!!’ diintonasikan bernada marah, kesal atau tidak. Walaupun ditandai
dengan garis seru banyak akan tetapi tetap dibaca dengan intonasi biasa jika
pembacanya itu dalam kondisi tidak marah atau tidak kesal. Namun, ilmu fonologi (fonetik) memberikan
tanda penekanan dalam wacana tulis yang berarti sedang marah untuk membantu
pembacanya dalam mengujarkan kata-kata tertentu namun hal ini tidak berlaku
umum / tidak semua orang tahu. Ambiguitas suprasegmental terjadi
karena intonasi dalam bertutur tidak jelas, seperti intonasi perintah,
bertanya, marah dll. Dan juga jika ambiguitas
suprasegmental itu hanya terjadi pada wacana lisan saja, karena dalam
suprasegmental kalimat/wacana tulis sudah diatur dengan pungtuasi yaitu tanda baca berupa simbol yang tidak
berhubungan dengan fonem (suara) atau kata dan frasa pada suatu bahasa,
melainkan berperan untuk menunjukkan struktur dan organisasi suatu tulisan, dan
juga intonasi serta jeda yang dapat diamati sewaktu pembacaan. Aturan tanda
baca berbeda antar bahasa, lokasi, waktu, dan terus berkembang sehingga dalam wacana tulis tidak akan terjadi
ambiguitas karena sudah ada pungtuasi yang mengatur wacana tersebut untuk
menjelaskan unsur suprasegmental dalam bahasa. Contohnya: Ambilkan dia segelas
air! Cepat! Kalimat
tersebut menggunakan pungtuasi tanda seru (!) yang selalu dipergunakan
untuk menyatakan suatu perintah. Sehingga
jelaslah bahwa dalam wacana tulis tidak akan terjadi ambiguitas suprasegmental.
3. Seorang pakar linguistik
Thomas A.Sebeok mengemukakan pendapat bahwa binatang tidaklah lazim menggunakan
istilah ‘bahasa’ ketika berbicara tentang sistem tanda dalam dunia binatang.
Apalagi saat mengingat beragamnya struktur kebahasaan dan fungsi bahasa itu
sendiri, patutlah kalau orang tidak menggunakan istilah ‘bahasa’ untuk bunyi
yang keluar dari mulut binatang. Manusia awam pun menganggap bahwa bahasa
manusia mempunyai kaidah kebahasaan yang sangat kompleks, mulai dari pelafalan,
kosa kata maupun struktur kalimat. Dalam menyampaikan satu pesan, manusia pun
menggunakan variasi nada, intonasi, dan kosa kata. Sehingga dikatakan bahwa binatang
tidak mempunyai bahasa melainkan hanya menggunakan sistem tanda saja
berupa bunyi tertentu, karena definisi bahasa sendiri itu harus memiliki
beberapa unit kesatuan.
Bahasa manusia dan
tanda bunyi yang digunakan binatang memiliki fungsi yang berbeda (Su’udi,
2011:3—6):
a. Bahasa manusia bersifat arbitrer, contohnya bahasa manusia tidak ada
hubungan rasional antara bunyi [pohon] dengan maknanya yaitu sesuatu yang
termasuk tanaman yang berdaun & berbatang, sedangkan tanda bunyi binatang
seperti saat ayam melihat elang, predator mereka, pasti akan mengeluarkan bunyi
tertentu. Kucing pun akan berbunyi saat melihat anjing.
b. Pewarisan Budaya
Bahasa manusia diwariskan kepada generasi berikutnya secara sadar atau
tidak sadar. Bedanya tanda bunyi yang dikeluarkan binatang tidak pernah secara
sengaja mengajarkan suatu bunyi kepada anaknya atau membetulkan si anak.
Perbedaannya hanya secara sadar atau tidak sadarnya.
c. Bahasa terdiri dari unit-unit
Bahasa manusia terdiri dari unit-unit fonem yang membentuk morfem dan
menghasilkan makna. Morfem dihubungkan menjadi klausa, klausa menjadi kalimat
dan kalimat menjadi wacana yang lebih besar. Sedangkan tanda bunyi binatang
ayam seperti contoh [kok kok petok] saat ia bertelur apakah merupakan satuan
unit fonem bermakna.
d. Bahasa dapat digunakan untuk sesuatu yang tidak hadir. Maksutnya adalah,
manusia menggunakan bahasa untuk menceritakan sesuatu peristiwa yang berada di
tempat lain atau yang sudah terjadi kepada mitra tuturnya. Sedangkan binatang
mengeluarkan bunyi hanya untuk bertanam hidup saja.
e. Produktivitas
Unit-unit bahasa yang diciptakan berupa fonem, misalnya [i] [k] [a] [n]
akan bermakna berbeda dengan unit-unit fonem [n] [a] [i] [k], kedua fonem
tersebut diproduksi berbeda sehingga menghasilkan makna yang berbeda pula.
Sedangkan bunyi binatang tidak yakin memiliki unit-unit tersebut. Karena,
misalnya induk ayam berbunyi [ck ck ck ck] memanggil anak ayam, maka bunyi itu
akan berulang. Jika intonasi & fonem yang dibalik maka tidak mungkin binatang
mampu melakukannya.
5. Salah satu jenis ambiguitas adalah ambiguitas sementara, seperti yang
dikemukakan oleh Dardjowijojo (2003:76) membagi
ambiguitas menjadi
dua jenis yaitu ambiguitas tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal. Sedangkan Gleason dan Ratner dalam Dardjowijojo (2003:76) membagi
lagi ambiguitas gramatikal
menjadi dua macam, yaitu:
a. Ambiguitas
sementara (local
ambiguity)
Ambiguitas
sementara (local ambiguity) yaitu fungsi
sintaktik suatu bentuk leksikal
berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperoleh kata-kata
tambahan yang mengudari
(disambiguate) ambiguitas itu. Contoh:
a.
Ada kucing makan
tikus mati
b.
Ada kucing makan
tikus itu/ mati
c.
Ada kucing makan/
tikus itu mati
Sebelum mendengar kata itu
dan menambahkan tanda jeda pada kalimat tersebut,
kalimat itu memiliki ambiguitas makna, yakni makna 1)
bahwa kucing yang mati setelah makan tikus dan makna 2) bahwa tikus yang mati
dimakan tikus.
Ketiga kalimat tersebut merupakan kalimat yang bermakna ambigu sementara, namun
jika diperjelas dengan tanda pungtuasi berupa jeda dan penambahan kata ‘itu’
maka kalimat tersebut akan jelas dan tidak ambigu lagi.
7. Beberapa pengaruh yang membuat
orang tidak dapat mempersepsi ujaran dengan baik
menurut Su’udi (2011:
30—31) adalah kecepatan ujaran yang didengar orang tersebut, karena makin cepat
untaian bunyi yang didengar makin rendah keterpahamannya. Namun pengaruh lain
juga muncul ketika pengaruh tersebut meningkat apabila bahasa yang didengar
belum dikuasai dengan baik, tidak hanya terkait dengan bahasa asing, bahasa ibu
pun untuk orang tertentu akan rendah keterpahamannya bila disampaikan dengan
kecepatan tinggi. Selain faktor tersebut, hal yang mempengaruhi orang tidak
dapat mempersepsi ujaran dengan baik adalah faktor pengetahuan umum terhadap
kosa kata dalam penggunaan bahasa tersebut. Ketika orang itu tidak memiliki
pengetahuan umum yang sama tentang sebuah istilah tertentu yang digunakan dalam
komunikasi tersebut, maka orang itu tidak akan dapat mempersepsi ujaran dengan
baik. Tidak hanya pengetahuan umum saja yang dapat mempengaruhi persepsi
ujaran, pengetahuan intuitif tentang sintaktik dan semantik, kalimat yang
gramatikalnya sesuai, maka pengetahuan intuitif yang dimiliki seseorang akan
mampu menangkap maknanya.
9. Perbedaan antara
penelitian eksperimental dan penelitian observasional terkontrol:
Eksperimenal
|
Observasional Terkontrol
|
Adanya
interferensi terhadap obyek penelitian
|
Tidak ada
interferensi terhadap obyek penelitian
|
Ada 2 bentuk
perlakuan terhadap obyek penelitian oleh peneliti
|
Hanya ada 1
perlakuan terhadap obyek penelitian yang dimanipulasi oleh peneliti
|
Ada kelompok
eksperimen, yaitu kelompok yang diberi perlakuan agar sesuai dengan hasil
yang diramalkan, dan kelompok kontrol, yaitu kelompok biasa tanpa perlakuan
yang dipakai sebagai pembanding.
|
Hanya ada 1
kelompok, yaitu obyek penelitian yang diberi perlakuan seperti dimasukkan
dalam laboratorium, diberi mainan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian.
|
Data diperoleh
dari kedua kelompok tersebut kemudian dibandingkan dengan melihat hasil
perlakuan kedua kelompok tersebut.
|
Data diperoleh
dari satu obyek tersebut yang diberi perlakuan manipulasi, apakah bahasa yang
dipakai ibu terhadap anak itu sama dengan bahasa yang dipakai ayah.
|
Contoh: Dalam sebuah
penelitian ada 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen: anak yang diberi
perlakuan rutin harus mendengarkan dan menirukan bunyi-bunyi bahasa dalam
bahasa Inggris, namun kelompok kontrol: anak yang dibiarkan saja dan tidak
dilatih mendengarkan bahasa Inggris, dan dibiarkan saja untuk memeroleh
bahasa secara alamiah. Maka kedua kelompok tersebut akan menghasilkan tuturan
anak yang berbeda setelah penelitian tersebut usai.
|
Contoh: Dalam
sebuah penelitian hanya ada 1 kelompok, yaitu seorang anak yang dimasukkan ke
dalam sebuah kamar dan diberi tape recorder yang berisi percakapan dalam
bahasa Inggris dan peneliti melatih anak tersebut secara rutin karena
peneliti berharap hasil yang didapatkan sesuai dengan tujuan penelitian.
Secara terus menerus diberi percakapan bahasa Inggris, mainan-mainan dalam
bahasa Inggris, gambar-gambar berbahasa Inggris. Hal tersebut akan
menghasilkan anak yang mampu berbahasa Inggris, seperti hasil manipulasi
peneliti.
|
10. Pada tahun 1963 Martin Braine, Universitas California
di Santa Barbara, mendapati dalam penelitiannya bahwa urutan dua kata yang
dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu
berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata yang tidak pernah muncul
sendirian. Ketiga anak yang ia selidiki tampanya membagi kata-kata mereka
menjadi dua kelompok: a) kata-kata yang sering muncul, yang tidak pernah
sendirian, dan muncul pada posisi tertentu, dan kata-kata yang jumlahnya lebih
besar, yang munculnya tidak sesring seperti yang ada pada (a) posisinya juga
dimana saja, dan bisa muncul sendirian. Kata-kata pada (a) dinamakan pivot karena ujaran anak berkisar pada
kata-kata ini, dan pada (b) dinamakan open,
terbuka.
Subjek
penelitian Braine selalu memakai want, get, there dan it sebagai kata-kata
pivot. Untuk kategori terbuka banyak kata yang dipakai seperti baby, car, ball,
doll, bunny, dan horsie. Anak tampaknya telah merumuskan tata bahasa yang
berbunyi kira-kira seperti ini: “Sebuah kalimat terdiri atas (a) pivot tipe 1
yang diikuti oleh kelompok kata terbuka atau (b) kelompok kata terbuka yang
diikuti oleh pivot tipe 2” (Aitchison dalam Dardjowidjojo, 2005:251). Tata
bahasa seperti ini dikenal dengan nama Pivot
Grammar.
Bagan 4
|
Bagan 3
|
Pivot 1
|
Open
|
Want
Get
There
It
|
Baby
Ball
Dook
Daddy
|
Open
|
Pivot 2
|
Bunny
Daddy
|
Do
|
a.
Pivot Grammar ini
terjadi pada anak usia 4—9 tahun, hal ini tidaklah dapat digeneralisasikan
karena meskipun ada prinsipel universal pada bahasa, bagaimana dan kapan anak
benar-benar memperoleh suatu butir tata bahasa ditentukan oleh bahasa yang
sedang diperoleh masing-masing anak.
b.
Contohnya, pada
bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia, dimana bentuk pasif sangat dominan,
anak sering mendapat masukan yang berupa kalimat pasif dan karenanya membentuk
pula pola kalimat pasif jauh lebih awal daripada anak Inggris. Anak-anak
Inggris rata-rata baru dapat memakai kalimat pasif pada umur 4;0 sampai8;0.
Sebaliknya, Echa telah dapat memakai bentuk pasif seawal umur 1:9 tahun
(Dardjowidjojo, 2005:253). Pada Echa, ia menguasai sufiks –in lebih awal dari
kebanyakan prefiks mana pun. Akan tetapi, prefiks di- telah muncul sebelum dia menguasai sufiks,
yakni pada wkatu dia beurumur 1;9 -- dua
atau tiga minggu sebelum sufiks –in muncul.
Selain itu, Echa juga dapat membedakan kata sebelum
dan sesudah dengan baik saat berusia 4;5 tahun. Perhatikan
dialog berikut :
EK
: Echa tadi nyuci sebelum masak apa
sesudah masak?
Echa : Sesudah masak
EK : Sesudah masak. Terus, masaknya sebelum
nyuci apa sesudah nyuci?
Echa : Sebelum nyuci.
Nampak terlihat dari dialog tersebut bahwa Echa telah
menguasai bahasa secara struktur dan secara sintaksis yang bermakna saat ia
berusia 4;5 tahun. Ia dapat membedakan makna sebelum dan sesudah dalam sebuah ujaran pertanyaan yang
berstruktur, sekaligus bisa merespon ujaran tersebut dengan baik. Pada Echa,
kalimat koordinatif justru belum muncul sampai umur 5:0 sedangkan kalimat
sibordinatif sudah muncul lebih dahulu (Dardjowidjojo 2000). Dan anak Indonesia
seperti Echa rupanya tidak mengalami kesulitan dalam menguasai MDP (Minimal
Distance Principle) yaitu suatu prinsip yang dikembangkan Chomsky. MDP
mengatakan bahwa nomina yang paling dekat dngan verba pada kalimat kompleme
adalah subjek dari verba kalimat komplemen tersebut. Misalnya pada kalimat 1) ‘
Kami memohon John untuk datang besok, kalimat 2) ‘Mama meminta John datang
besok’ dan kalimat 3)’Ayah ingin John untuk datang besok‘ . Ketiga kalimat ini
diketahui bahwa subjek kalimat komplemen ini adalah John, karena John-lah yang denkat dengan verba ‘come’,
sehingga John-lah yang harus
datang besok bukan kami, bukan ayah, dan bukan mama. Kalimat ini dapat dikuasai Echa saat berusia 4;4 dan
perkecualiannya dengan baik.
Daftar Pustaka
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Chaer,
Abdul. 2003.
Psikologilinguistik: Kajian Teoritik.
Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Muslich, Mansur.
2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan
Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Su’udi, Astini. 2011. Pengantar
Psikolinguistik Bagi Pembelajar Bahasa Perancis. Semarang: Widya Karya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar