Kamis, 21 November 2013

Psikolinguistik


1. Ambiguitas suprasegmental dalam wacana tulis tidak ada karena dalam wacana tulis, seorang pembaca tidak akan tahu apakah tulisan seperti Begitu ya!!!!’ karena dalam bunyi bahasa berdasarkan unsur-unsur segmennya dibedakan menjadi 2 yaitu unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur suprasegmental tersebut adalah unsur bunyi bahasa berupa tinggi rendahnya bunyi (nada), keras lemahnya bunyi (tekanan), panjang pendeknya bunyi (tempo), dan kesenyapan (jeda) (Muslich, 2008:61). Selain itu bahasa terdiri atas aspek, yaitu aspek bentuk dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu unsur segmental dan unsur suprasegmental. Unsur segmental yaitu unsur bahasa yang meliputi: fonem, morfem, kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Sedangkan unsur suprasegmental adalah unsur bahasa yang kehadirannya tergantung dari unsur segmental, yang terdiri dari tekanan keras, tekanan lemah, panjang, dan sebagainya. Unsur segmental dalam bentuk yang lebih luas disebut sebagai intonasi. Unsur segmental dapat tergambar dengan jelas walaupun kadang-kadang masih terdapat kelemahan. Untuk unsur suprasegmental beserta gerak-gerik wajah belum dapat dituliskan dengan abjad, persukuan, penulisan kata, dan sebagainya. Sebaliknya, unsur suprasegmental biasanya dinyatakan secara tertulis melalui tanda-tanda baca atau pungtuasi.. Sehingga kata Begitu ya!!!!’ diintonasikan bernada marah, kesal atau tidak. Walaupun ditandai dengan garis seru banyak akan tetapi tetap dibaca dengan intonasi biasa jika pembacanya itu dalam kondisi tidak marah atau tidak kesal. Namun, ilmu fonologi (fonetik) memberikan tanda penekanan dalam wacana tulis yang berarti sedang marah untuk membantu pembacanya dalam mengujarkan kata-kata tertentu namun hal ini tidak berlaku umum / tidak semua orang tahu. Ambiguitas suprasegmental terjadi karena intonasi dalam bertutur tidak jelas, seperti intonasi perintah, bertanya, marah dll. Dan juga jika ambiguitas suprasegmental itu hanya terjadi pada wacana lisan saja, karena dalam suprasegmental kalimat/wacana tulis sudah diatur dengan pungtuasi yaitu tanda baca berupa simbol yang tidak berhubungan dengan fonem (suara) atau kata dan frasa pada suatu bahasa, melainkan berperan untuk menunjukkan struktur dan organisasi suatu tulisan, dan juga intonasi serta jeda yang dapat diamati sewaktu pembacaan. Aturan tanda baca berbeda antar bahasa, lokasi, waktu, dan terus berkembang sehingga dalam wacana tulis tidak akan terjadi ambiguitas karena sudah ada pungtuasi yang mengatur wacana tersebut untuk menjelaskan unsur suprasegmental dalam bahasa. Contohnya: Ambilkan dia segelas air! Cepat! Kalimat tersebut menggunakan pungtuasi tanda seru (!) yang selalu dipergunakan untuk menyatakan suatu perintah. Sehingga jelaslah bahwa dalam wacana tulis tidak akan terjadi ambiguitas suprasegmental.
3. Seorang pakar linguistik Thomas A.Sebeok mengemukakan pendapat bahwa binatang tidaklah lazim menggunakan istilah ‘bahasa’ ketika berbicara tentang sistem tanda dalam dunia binatang. Apalagi saat mengingat beragamnya struktur kebahasaan dan fungsi bahasa itu sendiri, patutlah kalau orang tidak menggunakan istilah ‘bahasa’ untuk bunyi yang keluar dari mulut binatang. Manusia awam pun menganggap bahwa bahasa manusia mempunyai kaidah kebahasaan yang sangat kompleks, mulai dari pelafalan, kosa kata maupun struktur kalimat. Dalam menyampaikan satu pesan, manusia pun menggunakan variasi nada, intonasi, dan kosa kata. Sehingga dikatakan bahwa binatang tidak mempunyai bahasa melainkan hanya menggunakan sistem tanda saja berupa bunyi tertentu, karena definisi bahasa sendiri itu harus memiliki beberapa unit kesatuan.
Bahasa manusia dan tanda bunyi yang digunakan binatang memiliki fungsi yang berbeda (Su’udi, 2011:3—6):
a. Bahasa manusia bersifat arbitrer, contohnya bahasa manusia tidak ada hubungan rasional antara bunyi [pohon] dengan maknanya yaitu sesuatu yang termasuk tanaman yang berdaun & berbatang, sedangkan tanda bunyi binatang seperti saat ayam melihat elang, predator mereka, pasti akan mengeluarkan bunyi tertentu. Kucing pun akan berbunyi saat melihat anjing.
b. Pewarisan Budaya
Bahasa manusia diwariskan kepada generasi berikutnya secara sadar atau tidak sadar. Bedanya tanda bunyi yang dikeluarkan binatang tidak pernah secara sengaja mengajarkan suatu bunyi kepada anaknya atau membetulkan si anak. Perbedaannya hanya secara sadar atau tidak sadarnya.
c. Bahasa terdiri dari unit-unit
Bahasa manusia terdiri dari unit-unit fonem yang membentuk morfem dan menghasilkan makna. Morfem dihubungkan menjadi klausa, klausa menjadi kalimat dan kalimat menjadi wacana yang lebih besar. Sedangkan tanda bunyi binatang ayam seperti contoh [kok kok petok] saat ia bertelur apakah merupakan satuan unit fonem bermakna.
d. Bahasa dapat digunakan untuk sesuatu yang tidak hadir. Maksutnya adalah, manusia menggunakan bahasa untuk menceritakan sesuatu peristiwa yang berada di tempat lain atau yang sudah terjadi kepada mitra tuturnya. Sedangkan binatang mengeluarkan bunyi hanya untuk bertanam hidup saja.
e. Produktivitas
Unit-unit bahasa yang diciptakan berupa fonem, misalnya [i] [k] [a] [n] akan bermakna berbeda dengan unit-unit fonem [n] [a] [i] [k], kedua fonem tersebut diproduksi berbeda sehingga menghasilkan makna yang berbeda pula. Sedangkan bunyi binatang tidak yakin memiliki unit-unit tersebut. Karena, misalnya induk ayam berbunyi [ck ck ck ck] memanggil anak ayam, maka bunyi itu akan berulang. Jika intonasi & fonem yang dibalik maka tidak mungkin binatang mampu melakukannya.
5. Salah satu jenis ambiguitas adalah ambiguitas sementara, seperti yang dikemukakan oleh  Dardjowijojo (2003:76) membagi ambiguitas menjadi dua jenis yaitu ambiguitas tingkat leksikal, dan tingkat gramatikal. Sedangkan Gleason dan Ratner dalam Dardjowijojo (2003:76) membagi lagi ambiguitas gramatikal menjadi dua macam, yaitu:
a.       Ambiguitas  sementara  (local  ambiguity)
Ambiguitas  sementara  (local  ambiguity) yaitu  fungsi  sintaktik  suatu bentuk leksikal berstatus ambigu sampai pada suatu saat di mana kita memperoleh  kata-kata  tambahan  yang  mengudari  (disambiguate) ambiguitas itu. Contoh:
a.       Ada kucing makan tikus mati
b.      Ada kucing makan tikus itu/ mati
c.       Ada kucing makan/ tikus itu mati
Sebelum mendengar kata  itu dan menambahkan tanda jeda pada kalimat tersebut, kalimat itu memiliki ambiguitas makna, yakni makna 1) bahwa kucing yang mati setelah makan tikus dan makna 2) bahwa tikus yang mati dimakan tikus. Ketiga kalimat tersebut merupakan kalimat yang bermakna ambigu sementara, namun jika diperjelas dengan tanda pungtuasi berupa jeda dan penambahan kata ‘itu’ maka kalimat tersebut akan jelas dan tidak ambigu lagi.
7.  Beberapa pengaruh yang membuat orang tidak dapat mempersepsi ujaran dengan baik
menurut Su’udi (2011: 30—31) adalah kecepatan ujaran yang didengar orang tersebut, karena makin cepat untaian bunyi yang didengar makin rendah keterpahamannya. Namun pengaruh lain juga muncul ketika pengaruh tersebut meningkat apabila bahasa yang didengar belum dikuasai dengan baik, tidak hanya terkait dengan bahasa asing, bahasa ibu pun untuk orang tertentu akan rendah keterpahamannya bila disampaikan dengan kecepatan tinggi. Selain faktor tersebut, hal yang mempengaruhi orang tidak dapat mempersepsi ujaran dengan baik adalah faktor pengetahuan umum terhadap kosa kata dalam penggunaan bahasa tersebut. Ketika orang itu tidak memiliki pengetahuan umum yang sama tentang sebuah istilah tertentu yang digunakan dalam komunikasi tersebut, maka orang itu tidak akan dapat mempersepsi ujaran dengan baik. Tidak hanya pengetahuan umum saja yang dapat mempengaruhi persepsi ujaran, pengetahuan intuitif tentang sintaktik dan semantik, kalimat yang gramatikalnya sesuai, maka pengetahuan intuitif yang dimiliki seseorang akan mampu menangkap maknanya.
9. Perbedaan antara penelitian eksperimental dan penelitian observasional terkontrol:
Eksperimenal
Observasional Terkontrol
Adanya interferensi terhadap obyek penelitian
Tidak ada interferensi terhadap obyek penelitian
Ada 2 bentuk perlakuan terhadap obyek penelitian oleh peneliti
Hanya ada 1 perlakuan terhadap obyek penelitian yang dimanipulasi oleh peneliti
Ada kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang diberi perlakuan agar sesuai dengan hasil yang diramalkan, dan kelompok kontrol, yaitu kelompok biasa tanpa perlakuan yang dipakai sebagai pembanding.
Hanya ada 1 kelompok, yaitu obyek penelitian yang diberi perlakuan seperti dimasukkan dalam laboratorium, diberi mainan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Data diperoleh dari kedua kelompok tersebut kemudian dibandingkan dengan melihat hasil perlakuan kedua kelompok tersebut.
Data diperoleh dari satu obyek tersebut yang diberi perlakuan manipulasi, apakah bahasa yang dipakai ibu terhadap anak itu sama dengan bahasa yang dipakai ayah.
Contoh: Dalam sebuah penelitian ada 2 kelompok, yaitu kelompok eksperimen: anak yang diberi perlakuan rutin harus mendengarkan dan menirukan bunyi-bunyi bahasa dalam bahasa Inggris, namun kelompok kontrol: anak yang dibiarkan saja dan tidak dilatih mendengarkan bahasa Inggris, dan dibiarkan saja untuk memeroleh bahasa secara alamiah. Maka kedua kelompok tersebut akan menghasilkan tuturan anak yang berbeda setelah penelitian tersebut usai.
Contoh: Dalam sebuah penelitian hanya ada 1 kelompok, yaitu seorang anak yang dimasukkan ke dalam sebuah kamar dan diberi tape recorder yang berisi percakapan dalam bahasa Inggris dan peneliti melatih anak tersebut secara rutin karena peneliti berharap hasil yang didapatkan sesuai dengan tujuan penelitian. Secara terus menerus diberi percakapan bahasa Inggris, mainan-mainan dalam bahasa Inggris, gambar-gambar berbahasa Inggris. Hal tersebut akan menghasilkan anak yang mampu berbahasa Inggris, seperti hasil manipulasi peneliti.

10. Pada tahun 1963 Martin Braine, Universitas California di Santa Barbara, mendapati dalam penelitiannya bahwa urutan dua kata yang dipakai anak ternyata mengikuti aturan tertentu. Kata-kata tertentu selalu berada pada tempat tertentu pula dan ada kata-kata yang tidak pernah muncul sendirian. Ketiga anak yang ia selidiki tampanya membagi kata-kata mereka menjadi dua kelompok: a) kata-kata yang sering muncul, yang tidak pernah sendirian, dan muncul pada posisi tertentu, dan kata-kata yang jumlahnya lebih besar, yang munculnya tidak sesring seperti yang ada pada (a) posisinya juga dimana saja, dan bisa muncul sendirian. Kata-kata pada (a) dinamakan pivot karena ujaran anak berkisar pada kata-kata ini, dan pada (b) dinamakan open, terbuka.
            Subjek penelitian Braine selalu memakai want, get, there dan it sebagai kata-kata pivot. Untuk kategori terbuka banyak kata yang dipakai seperti baby, car, ball, doll, bunny, dan horsie. Anak tampaknya telah merumuskan tata bahasa yang berbunyi kira-kira seperti ini: “Sebuah kalimat terdiri atas (a) pivot tipe 1 yang diikuti oleh kelompok kata terbuka atau (b) kelompok kata terbuka yang diikuti oleh pivot tipe 2” (Aitchison dalam Dardjowidjojo, 2005:251). Tata bahasa seperti ini dikenal dengan nama Pivot Grammar.
Bagan 4
Bagan 3
 
Pivot  1
Open
Want
Get
There
It
Baby
Ball
Dook
Daddy
Open
Pivot 2
Bunny
Daddy
Do

a.       Pivot Grammar ini terjadi pada anak usia 4—9 tahun, hal ini tidaklah dapat digeneralisasikan karena meskipun ada prinsipel universal pada bahasa, bagaimana dan kapan anak benar-benar memperoleh suatu butir tata bahasa ditentukan oleh bahasa yang sedang diperoleh masing-masing anak.
b.      Contohnya, pada bahasa-bahasa seperti bahasa Indonesia, dimana bentuk pasif sangat dominan, anak sering mendapat masukan yang berupa kalimat pasif dan karenanya membentuk pula pola kalimat pasif jauh lebih awal daripada anak Inggris. Anak-anak Inggris rata-rata baru dapat memakai kalimat pasif pada umur 4;0 sampai8;0. Sebaliknya, Echa telah dapat memakai bentuk pasif seawal umur 1:9 tahun (Dardjowidjojo, 2005:253). Pada Echa, ia menguasai sufiks –in  lebih awal dari kebanyakan prefiks mana pun. Akan tetapi, prefiks di-  telah muncul sebelum dia menguasai sufiks, yakni pada wkatu dia beurumur 1;9  -- dua atau tiga minggu sebelum sufiks –in muncul. Selain itu, Echa juga dapat membedakan kata sebelum dan sesudah  dengan baik saat berusia 4;5 tahun. Perhatikan dialog berikut :
EK       : Echa tadi nyuci sebelum masak apa sesudah masak?
Echa    : Sesudah masak
EK       : Sesudah masak. Terus, masaknya sebelum nyuci apa sesudah nyuci?
Echa    : Sebelum nyuci.
Nampak terlihat dari dialog tersebut bahwa Echa telah menguasai bahasa secara struktur dan secara sintaksis yang bermakna saat ia berusia 4;5 tahun. Ia dapat membedakan makna sebelum dan sesudah  dalam sebuah ujaran pertanyaan yang berstruktur, sekaligus bisa merespon ujaran tersebut dengan baik. Pada Echa, kalimat koordinatif justru belum muncul sampai umur 5:0 sedangkan kalimat sibordinatif sudah muncul lebih dahulu (Dardjowidjojo 2000). Dan anak Indonesia seperti Echa rupanya tidak mengalami kesulitan dalam menguasai MDP (Minimal Distance Principle) yaitu suatu prinsip yang dikembangkan Chomsky. MDP mengatakan bahwa nomina yang paling dekat dngan verba pada kalimat kompleme adalah subjek dari verba kalimat komplemen tersebut. Misalnya pada kalimat 1) ‘ Kami memohon John untuk datang besok, kalimat 2) ‘Mama meminta John datang besok’ dan kalimat 3)’Ayah ingin John untuk datang besok‘ . Ketiga kalimat ini diketahui bahwa subjek kalimat komplemen ini adalah John, karena John-lah yang denkat dengan verba ‘come’,  sehingga John-lah yang harus datang besok bukan kami, bukan ayah, dan bukan mama. Kalimat ini dapat dikuasai Echa saat berusia 4;4 dan perkecualiannya dengan baik.
Daftar Pustaka
Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Chaer, Abdul. 2003. Psikologilinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Muslich, Mansur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Su’udi, Astini. 2011. Pengantar Psikolinguistik Bagi Pembelajar Bahasa Perancis. Semarang: Widya Karya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar